Namun suara publik juga menyoroti: pekerjaan tambang tidak bersifat jangka panjang.
Ketika sumber habis, aktivitas terhenti, tetapi kerusakannya tetap tinggal.
Warga pedesaan yang menggantungkan hidup pada sawah, sungai, dan hutan, justru diminta beradaptasi atas keputusan yang tidak mereka buat.
Saatnya Menentukan: Pulau Sumatera Sentra Ekonomi atau Zona Pengorbanan?
Diperlukan kebijakan yang lebih transparan, evaluasi izin, serta penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal dan pengawasan rehabilitasi pascatambang.
Kesadaran publik adalah faktor yang tidak kalah penting.
Suara masyarakat dapat menjadi penyeimbang arah kebijakan.
Karena masa depan lingkungan, bukan hanya milik pemerintah atau industri.
Ia adalah warisan untuk generasi selanjutnya.
Sumatera adalah pulau strategis, bukan cadangan lahan.
Baca Juga: GreenFaith Sentil COP30: Nilai Kemanusiaan Jangan Dikorbankan demi Lobi Fosil
Keputusan hari ini menentukan apakah pulau ini menjadi lumbung sumber daya, atau bekas luka eksploitasi panjang.
Saatnya narasi tampak: bukan sekadar pembangunan ekonomi, tetapi pembangunan yang tidak mengorbankan ruang hidup ekosistem dan manusia.
Mari sebarkan kesadaran, dukung edukasi lingkungan, dan kawal kebijakan publik agar Sumatera tetap hijau dan manusiawi.***
Artikel Terkait
Temurejo Bangkit Lewat Selai Buah Naga, Wirausaha Hijau dan Inklusi Tuli Jadi Sorotan
GreenFaith Indonesia dan UIN Sumut Sepakat: Agama Harus Turun Tangan Hadapi Krisis Lingkungan
Satu Dekade Usai Perjanjian Paris, Dunia Makin Panas, Target 1,5°C Semakin Sulit Dikejar?
Indonesia Disorot Dunia, Dapat Award Satir 'Fossil of the Day' karena Komitmen Iklim Dinilai Mandek di Ajang COP
Laris Manis di COP30! Indonesia Kantongi Rp7 Triliun dari Karbon, Namun Dikritik karena Bahayakan Target Emisi