HUKAMANEWS Greenfaith – Seruan untuk menghentikan aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil kembali menggema. Kali ini datang dari Green Faith Indonesia bersama sejumlah tokoh agama dan masyarakat adat yang mendesak pemerintah mencabut seluruh izin usaha pertambangan (IUP) yang dinilai merusak ciptaan Tuhan dan mengancam keberlanjutan ekosistem di wilayah kepulauan Indonesia.
Langkah pencabutan empat IUP di Raja Ampat oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia pada awal Juni lalu dinilai belum cukup. Menurut Direktur Green Faith Indonesia, Hening Parlan, pencabutan itu harus dilanjutkan dengan penghentian total seluruh IUP di pulau kecil. Ia menegaskan bahwa kerusakan lingkungan akibat pertambangan merupakan pelanggaran terhadap ajaran iman dan konstitusi.
“Kita adalah bangsa kepulauan dengan lebih dari 10.000 pulau kecil. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.’ Maka, mencabut IUP yang merusak merupakan bentuk ketundukan kita kepada Tuhan,” ujar Hening dalam keterangan tertulis, Kamis (12/6/2025).
Hening juga mengingatkan bahwa pertambangan di pulau kecil bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2007, khususnya Pasal 35 dan 73, yang mengatur perlindungan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Tak hanya soal hukum dan agama, kerusakan lingkungan di pulau kecil juga berdampak langsung pada kesehatan dan kehidupan masyarakat. Hening mencontohkan kasus di Teluk Weda, Maluku Utara, yang menunjukkan dampak ekologis dari pertambangan nikel. Data Forest Watch Indonesia mencatat 5.700 hektare hutan hilang sejak 2021. Studi Nexus Foundation menemukan kandungan logam berat berbahaya seperti merkuri dan arsenik di tubuh ikan dan darah warga, melebihi kadar pada pekerja tambang.
Kondisi kesehatan warga juga memburuk. Kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) melonjak dari 434 kasus pada 2020 menjadi lebih dari 10.000 kasus pada 2023. Selain itu, terdapat lebih dari 500 kasus diare setiap tahunnya di wilayah terdampak.
“Transisi energi yang diklaim ramah lingkungan justru menciptakan penderitaan baru. Seharusnya, transisi ini dilakukan dengan prinsip keadilan ekologis,” ujarnya.
Uskup Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru OSA, juga menyuarakan keprihatinan atas kerusakan lingkungan di Papua, khususnya Raja Ampat. Dalam khotbah Hari Raya Pentakosta di Gereja Katedral Tiga Raja, Timika, ia menyebut pertambangan nikel sebagai bentuk kekerasan terhadap alam dan masyarakat Papua.
“Raja Ampat yang selama ini kita muliakan sebagai mahakarya ciptaan Tuhan kini dilukai oleh kerakusan manusia,” katanya.
Pandangan serupa disampaikan Pdt. Prof. Binsar Pakpahan, Ph.D dari STFT Jakarta. Ia menilai eksploitasi sumber daya alam yang membabi buta sebagai bentuk keserakahan struktural.
“Gereja harus keluar dari mimbar dan bersuara menolak sistem yang menormalisasi kerusakan lingkungan,” ujarnya.
Dari kalangan pesantren, Roy Murtadho dari Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar mengkritik sikap para pemimpin yang lebih berpihak pada kepentingan tambang daripada perlindungan lingkungan.
“Ini adalah dilema etika. Ada kesenjangan pemahaman antara kepentingan ekonomi dan kewajiban menjaga lingkungan hidup,” katanya.
Sementara itu, Romo Ferry Sutrisna Widjaja dari Eco Camp Bandung mengingatkan kembali pesan Paus Fransiskus dalam Laudato Si’. “Pertanyaannya: dunia seperti apa yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita? Apakah hati kita masih sanggup mendengar jeritan alam dan jeritan masyarakat lokal?” ujarnya.
Artikel Terkait
Dari Untirta, GreenFaith dan Pemerintah Serukan Kesadaran Iklim
Bencana Iklim Mengintai Komodo, Indonesia di Ambang Krisis Ekologis
Fikih Transisi Energi Berkeadilan, Terobosan Ulama Muda Muhammadiyah untuk Selamatkan Bumi dan Umat
Tak Hanya Dakwah, ‘Aisyiyah Kini Jadi Pelopor Green School dan Energi Surya
Tak Hanya Ibadah, Kini Dakwah Bicara Energi dan Keadilan Sosial