Satirannya justru terletak di sini. Negara berjanji mengamankan aset, sementara sebagian pejabatnya sibuk mengamankan diri. Regulasi ditinjau, celah ditutup, kata presiden. Namun, selama aktor lama dengan mental lama tetap bercokol, celah akan selalu ditemukan. Korupsi di Indonesia bukan sekadar soal hukum, melainkan soal budaya kekuasaan yang permisif terhadap penyalahgunaan wewenang.
Ancaman pemecatan akan bermakna jika diikuti tindakan cepat dan terbuka. Siapa yang dipecat? Atas dasar apa? Prosesnya bagaimana? Transparansi menjadi kunci. Tanpa itu, ancaman hanya akan menjadi latar musik bagi rutinitas birokrasi yang sama. Rakyat mendengar, mengangguk, lalu menunggu—lagi.
Pada akhirnya, pernyataan Prabowo adalah taruhan politik. Jika ia konsisten, sejarah akan mencatatnya sebagai presiden yang berani mematahkan kebiasaan lama. Jika tidak, ancaman itu hanya akan menjadi kutipan pidato yang ramai di awal, lalu tenggelam oleh kasus-kasus baru. Di titik inilah publik berhak bersikap kritis: bukan menolak ketegasan, tetapi menagih pembuktiannya. Sebab, dalam negara hukum, yang paling ditakuti pejabat bukanlah ancaman, melainkan kepastian bahwa hukum benar-benar bekerja.***