analisis

Mantan Pejabat dan Tradisi Melupakan: Rapuhnya Etika Kekuasaan

Senin, 8 Desember 2025 | 08:30 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

HUKAMANEWS - Di tengah hiruk-pikuk politik yang kian menyerupai panggung komedi gelap, publik kembali disuguhi drama para mantan pejabat yang tiba-tiba menemukan “nurani” begitu pensiun. Kritik berloncatan ke segala arah, seolah mereka tak pernah menjadi bagian dari mesin kebijakan yang dulu ikut mereka putar sendiri.

Fenomena inilah yang membuat Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH, pengamat hukum dan politik, merasa perlu menuliskan catatan ini—bukan untuk menggurui, melainkan mengajak publik menengok kembali siapa sebenarnya yang sedang memainkan peran. Sebab, ujar Pieter yang juga merupakan mantan Ketua Komisi III DPR RI, di negeri ini perubahan sikap sering lebih cepat daripada perubahan regulasi, dan ingatan politik kerap lebih pendek daripada masa jabatan itu sendiri. Berikut catatan lengkapnya.

***

Para mantan pejabat ramai bersuara lantang setelah pensiun—seakan lupa bahwa jejak kebijakan yang kini mereka kritik juga lahir dari tangan mereka sendiri.

DALAM politik Indonesia, ada satu kebiasaan yang sulit diberantas: sebagian pejabat baru menemukan suara kritisnya justru setelah tidak lagi memegang kuasa. Selama bertahun-tahun berada di lingkaran inti pemerintahan, mereka duduk tenang di meja rapat, membubuhkan tanda tangan, dan menikmati fasilitas negara. Namun begitu masa jabatan berakhir, sebagian tiba-tiba tampil sebagai orator moral yang sangat fasih mengurai kesalahan masa lalu—kesalahan yang ironisnya juga lahir di periode mereka.

Kritik sebenarnya sehat bagi demokrasi. Yang membuat publik mengernyit adalah waktu kemunculannya. Jika sebuah kebijakan memang fatal, mengapa tak disampaikan ketika mereka masih punya kewenangan dan akses langsung? Mengapa pendapat yang konon "cukup lama mengganjal" itu baru mengudara setelah kedudukan berpindah tangan?

Baca Juga: Tim Penyidik Pulang dari Arab Saudi, KPK Siap Panggil Lagi Yaqut dan Bos Maktour, Ada Data Baru soal 20 Ribu Kuota Haji?

Psikologi perilaku memberi jawabannya. Self-serving bias mendorong orang melihat masa lalunya dengan cara yang menguntungkan diri sendiri, sementara recency bias membuat pengalaman paling baru terasa paling benar. Dalam dunia kekuasaan, dua pola tersebut menjadi bahan bakar yang sempurna untuk mengubah pelaku menjadi “penonton moral” dari keputusan yang mereka ikut buat.

Begitu lampu sorot bergeser, beberapa mantan menteri memilih lembar cerita baru. Mereka menafsirkan ulang sejarah, menempatkan diri sebagai pihak yang “sejak awal tidak sepakat”, dan membangun jarak aman dari kebijakan pemerintah terdahulu. Padahal dokumen negara tidak pernah ditulis oleh satu tangan saja. Setiap keputusan strategis melibatkan menteri sebagai arsitek dan pelaksana. Mereka bukan penonton. Mereka aktor utama.

Di titik inilah konsep political deflection bekerja: seni mengalihkan tanggung jawab ke mantan atasan, sembari menjaga citra pribadi tetap bersih. Jika dulu kedekatan dengan presiden memberi keuntungan politik, kini menjauh darinya memberi ruang untuk menciptakan identitas baru. Identitas yang diperlukan untuk menyusun masa depan politik berikutnya.

Baca Juga: Detik Mencekam Longsor Arjasari Bandung: Suara Seperti Pesawat, Warga Panik Selamatkan Diri

Yang menarik, publik menyaksikan semua ini hampir seperti menonton sinetron politik yang episodenya tidak ada habisnya. Media sosial berperan sebagai kotak suara raksasa: meme bermunculan, potongan video ditafsirkan ulang, dan perdebatan berlangsung seolah semua orang pernah menjadi staf ahli.

Namun di balik kegaduhan, satu ironi mencuat: Jokowi, meski sudah tak lagi menjabat, tetap menjadi magnet kunjungan. Fenomena ini menunjukkan bahwa pengaruh politik tidak selalu berbanding lurus dengan jabatan formal. Ada legitimasi sosial yang bertahan jauh lebih lama daripada sisa masa jabatan.

Kontrasnya mencolok. Mantan presiden yang sudah tidak berkuasa justru terus didatangi, sementara sebagian pejabat yang dulu dekat dengannya kini sibuk membangun jarak. Publik tentu punya kebebasan untuk menafsirkan apa makna semua itu—apakah ini sekadar silaturahmi atau tanda bahwa dinamika kekuasaan di belakang layar jauh lebih kompleks daripada yang terlihat.

Halaman:

Tags

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB