Jika profesional diaspora diminta pulang, bagaimana meyakinkan mereka bahwa negeri ini tak akan membalikkan pisau hukum kepada mereka saat memberi terobosan? Jika pemimpin BUMN dipaksa kreatif, mengapa keputusan strategis justru dinilai sebagai potensi pidana ketika berbeda interpretasi?
Pilihan paling aman bagi para pengambil keputusan kini jelas: jangan bergerak. Biarkan BUMN berjalan lamban, birokratis, dan tanpa terobosan. Negara tidak kehilangan uang, tetapi kehilangan keberanian kolektif. Dan kehilangan keberanian jauh lebih berbahaya daripada kehilangan uang.
Hukum Tak Boleh Kehilangan Moral
Memberantas korupsi adalah kewajiban moral. Tetapi hukum tanpa moral justru menghukum niat baik dan mencederai akal sehat. Jika tidak ada unsur memperkaya diri, jika keputusan diambil untuk kepentingan publik, maka hukum seharusnya mampu membedakan antara kesalahan administratif dengan tindak pidana.
Korupsi bukan sekadar kerugian negara; ia harus dibuktikan dengan motif jahat. Jika motif jahat itu tidak ada, memaksakan pidana hanya akan menghancurkan kepercayaan publik dan mematikan inovasi.
Keadilan tidak boleh hanya menegakkan teks, tetapi juga mempertimbangkan konteks.
Kisah Ira Puspadewi adalah pengingat getir bahwa mencintai Indonesia kadang berarti siap terluka oleh negeri yang kita perjuangkan. Namun cinta kepada bangsa tidak boleh hilang hanya karena negara sering keliru memperlakukan pengabdinya.
Kita membutuhkan keberanian untuk terus memperbaiki sistem, bukan menyerah pada ketakutan. Membangun negeri ini membutuhkan kepastian hukum yang melindungi pengabdi yang berintegritas, bukan memenjarakan mereka atas tafsir yang abu-abu.
Ira bukan martir pertama, mungkin bukan yang terakhir. Tetapi tragedi ini seyogianya menjadi momentum koreksi: agar palu hukum tak menghukum inovasi, dan negara tidak membunuh keberanian warganya sendiri.
Karena negeri ini terlalu penting untuk ditinggalkan. Untuk itu, jangan lelah mencintai Indonesia—sekalipun kadang negeri ini menyakitimu.***