HUKAMANEWS - Negeri ini gemar memanggil warganya yang berprestasi di luar negeri untuk pulang dan mengabdi, tetapi sering tak siap menanggung konsekuensi dari keputusan berani. Inovasi dihargai selama tidak menyentuh ranah yang dianggap “sensitif”, dan niat baik kerap diperiksa seolah motif tersembunyi selalu ada.
Dalam catatan analisisnya yang lugas dan tajam, pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C. Zulkifli, SH., MH. mempertanyakan logika hukum yang dengan mudah mengkriminalkan kebijakan publik. Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menegaskan bahwa tak setiap risiko adalah kejahatan, dan tak semua perbedaan valuasi adalah korupsi. Di hadapan negara yang mudah curiga, profesional justru dipaksa memilih yang paling aman: tidak berbuat apa-apa.
***
Pengabdian pada negeri berubah jadi sandera hukum; ketika keputusan publik dinilai seperti kejahatan, dan niat baik ditimbang dengan kecurigaan.
“SAYA dipanggil pulang untuk negeri ini, tapi dipenjara di negeri ini.”
Kalimat pendek dari Ira Puspadewi itu bukan sekadar keluhan seorang terpidana. Ia adalah cermin dari paradoks besar bangsa ini: negara mengundang orang-orang terbaik untuk pulang mengabdi, lalu menghukumnya ketika mereka berani mengambil keputusan demi kepentingan publik.
Ira tidak sedang membela diri bahwa ia malaikat tanpa cela. Ia sedang memperjuangkan logika publik yang terancam rusak: bahwa keputusan bisnis yang tidak menguntungkan secara jangka pendek bukanlah tindak pidana, apalagi jika tidak ada bukti keuntungan pribadi.
Sebelumnya, Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan 4,5 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan bagi eks Dirut ASDP, Ira Puspadewi. Ia tak menikmati uang korupsi, namun tetap bersalah karena dianggap menguntungkan pihak lain. Ia mengubah ASDP menjadi BUMN sehat, lalu dibalas jeruji. Tampaknya, di negeri ini, inovasi bisa dianggap lebih jahat daripada korupsi itu sendiri.
Mengadili Risiko, Bukan Kejahatan
ASDP bukan perusahaan profit murni. Ia menanggung mandat negara: memastikan kapal tetap berangkat di wilayah 3T yang secara bisnis merugi. Tanpa ASDP, distribusi pangan, obat, serta harga barang bisa kacau. Karena itu keputusan membeli PT Jembatan Nusantara bukan spekulasi, melainkan strategi penguatan layanan.
Namun perbedaan valuasi yang ekstrem—lebih dari Rp1 triliun menurut konsultan internasional, hanya Rp19 miliar menurut auditor KPK—berubah menjadi dasar pidana. Padahal valuasi perusahaan selalu bergantung pada metodologi, asumsi pasar, dan potensi bisnis. Pertanyaan mendasar muncul: apakah kita sedang menilai kerugian negara, atau sedang menciptakan kerugian logika?
Ironinya, hakim mengakui Ira tidak mengambil keuntungan pribadi. Tidak ada uang pengganti. Tidak ada bukti gratifikasi. Tetapi ia tetap dihukum. Dissenting opinion Hakim Ketua yang meminta pembebasan pun tak mampu menyelamatkannya.
Di titik ini, bangsa ini bukan sedang memburu koruptor. Kita sedang mengadili risiko bisnis seperti kejahatan.
Negara yang Menakut-nakuti Pengabdinya
Kasus ini tak berhenti pada sosok Ira. Ia menjadi pesan keras bahwa bekerja untuk negara berarti siap mempertaruhkan kebebasan hanya karena perbedaan tafsir. Dalam logika yang bengkok, diam justru jauh lebih aman ketimbang berani memperbaiki keadaan.