Keajegan WALHI
WALHI telah berdiri sejak 45 tahun lalu. Sejak saya mengenalnya di tahun 1994, impresi saya tidak berubah. Ia bukan hanya semata sebagai lembaga konsisten menggarap isu lingkungan, tetapi jauh dari itu, ia adalah kawah candradimuka bagi siapa saja yang pernah bergabung di dalamnya. WALHI telah menjadi sekolah alam yang sangat berjasa dalam menumbuhkan kader-kader baik yang ajeg memperjuangkan kelestarian alam dan kemanusiaan.
Ada kekaguman pada wadah ini yang menjadi ciri khusus sebagai sebuah gerakan lingkungan. Salah satunya adalah tidak ada figur tunggal yang didewakan di WALHI. Jabatan paling tinggi di Lembaga ini adalah Direktur Eksekutif. Ia akan dipilih setiap 3–5 tahun sekali. Ada beberapa orang yang pernah menduduki jabatan sebagai direktur hingga dua periode. Namun hebatnya, setelah mereka tidak lagi menjabat sebagai direktur, mereka akan kembali menjadi orang biasa. Tidak ada keistimewaan apalagi pengkultusan individu yang diberikan kepada para mantan direktur, meskipun dinilai oleh sebagian orang sebagai pemimpin yang pernah berjasa.
Selama 45 tahun berdiri, sependek pengetahuan saya, tidak pernah ada turbulensi organisasi hanya karena ada pergantian kepemimpinan. Program kerja yang telah dirumuskan tetap bisa berjalan. Sistem keuangan juga demikian. Semua bisa tetap berjalan biasa saja meski ada pergantian pucuk pimpinan. Pergantian kepemimpinan WALHI tidak akan mengubah performa organisasi di mata publik. WALHI akan tetap tampil garang, melawan kebijakan dan tindakan pemerintah dan korporasi yang dianggap mengancam keadilan bagi kemanusiaan dan kelestarian alam. WALHI akan tetap teguh pada prinsip itu, siapa pun pengampunya.
Baca Juga: Kasus Riva Siahaan Makin Panas, Vale–Adaro–PAMA Terseret Isu Harga BBM Murah Patra Niaga!
Saya menitipkan harapan sederhana untuk WALHI ke depan. Ketika banyak politisi, akademisi, tokoh agama, dan masyarakat yang beranggapan bahwa eksploitasi bumi untuk kegiatan pertambangan itu bisa dilakukan dengan cara tidak merusak alam dan keadilan bagi kemanusiaan, maka WALHI harus tetap berteriak dengan lantang untuk menolak asumsi itu. Ia pun harus tetap memilih untuk bersikap kritis, menyuarakan pandangan yang berbeda dari kebanyakan orang yang telah abai hingga lalai akan ancaman kerusakan bumi.
Sebagai wadah pergerakan, WALHI juga harus tetap bersedia menjadi tempat bersandar bagi rakyat yang sedang tercerabut hak-hak mereka untuk mendapatkan sumber daya alam yang lestari, udara yang sehat, air untuk kehidupan yang bersih, lingkungan yang aman. WALHI harus tetap menyediakan telinga untuk mendengar, pundak untuk bersandar, dan pelukan hangat bagi mereka yang mengadu karena telah teraniaya.
Saya sadar sepenuhnya bahwa WALHI bukanlah lembaga negara yang seharusnya mampu menyelesaikan persoalan-persoalan ancaman kerusakan lingkungan yang terus terjadi di depan mata. WALHI bukanlah lembaga yang dibiayai oleh uang dari pajak rakyat untuk bekerja dan melayani mereka. Cukuplah WALHI terus menjadi pendobrak pintu yang selama ini tertutup rapat, meski suara bising rakyat yang menuntut keadilan terus menggema.
Di akhir harapan, WALHI yang telah memilih pemimpin baru. Semoga dia tetap teguh berjuang bersama rakyat, demi keadilan dan kemanusiaan. Karena kepemimpinan yang sejati bukan tentang siapa yang paling menonjol, tetapi tentang bagaimana menjaga bara perjuangan agar tetap menyala—tanpa harus bergantung pada satu sosok. WALHI telah membuktikan bahwa gerakannya bisa tetap kuat tanpa kultus, dan perubahan bisa terus mampu diciptakan meski pemimpinnya silih berganti.***