HUKAMANEWS - Empat puluh lima tahun perjalanan WALHI adalah kisah tentang konsistensi dan kerendahan hati sebuah gerakan.
Dalam opini reflektifnya, Ahsan Jamet Hamidi, mantan staf WALHI, menelusuri kembali akar perjuangan lembaga ini—bukan sekadar organisasi lingkungan, melainkan ruang belajar sosial yang menumbuhkan kesadaran kritis dan keberanian moral. Di tengah derasnya pragmatisme politik dan komersialisasi alam, WALHI tetap tegak tanpa kultus individu, menjaga bara perjuangan demi keadilan ekologis dan kemanusiaan.
Berikut ini catatan lengkapnya.
***
“KITA mau menggugat Presiden Soeharto melalui Pengadilan PTUN Jakarta. Kita akan gagalkan rencana pengalihan dana reboisasi hutan yang akan digunakan untuk program pembuatan pesawat terbang oleh Habibie. Tugasmu mencari data tentang semua program reboisasi di Departemen Kehutanan,” ujar almarhumah Emmy Hafild (Allahuyarhamuha).
Kalimat di atas masih terpatri di kepala ketika mendapatkan tugas dari Mbak Emmy. Pagi itu, tepat di bulan Agustus 1994, adalah hari pertama saya masuk kantor WALHI sebagai volunteer. Kepala terasa berputar keras karena kebingungan. Sebagai lulusan Fak. Tarbiyah IAIN Ciputat, saya sama sekali tidak paham dengan perintah yang disampaikan Mbak Emmy. Saat itu, belum ada Google yang mampu memberikan jawaban atas setiap pertanyaan dalam waktu cepat. Perut terasa semakin mual karena saya sama sekali tidak paham apa itu dana reboisasi, mengapa harus dibatalkan, lalu apa itu PTUN?
Sambil menggaruk-garuk kepala menahan rasa malu, saya keluar dari kamar kerja Mbak Emmy menuju ruang belakang untuk mengisap rokok. Ternyata, saat itu, Tuhan mengirimkan dua manusia baik dan pintar; Sugeng Bahagijo—mantan Direktur INFID dan Fernando Manulang—Dosen Fak. Hukum Universitas Indonesia, yang saat itu sering nongkrong di WALHI. Keduanya dengan sangat baik dan piawai menjelaskan perihal dana reboisasi yang akan dialihkan untuk mendanai proyek pengembangan pesawat terbang.
Fernando Manulang pintar menjelaskan tentang jenis-jenis peradilan di Indonesia. Salah satunya adalah pengadilan tata usaha negara yang tugasnya untuk menyelesaikan sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat. Sebagai ketua PRD (Persatuan Rakyat Demokratik) saat itu, Mas Sugeng Bahagijo memang rajin melahap semua koran yang ada di kantor WALHI. Dia seperti perpustakaan berjalan karena mampu menyediakan jawaban tepat atas pertanyaan kawan-kawan yang sering nongkrong di kantor WALHI.
Baca Juga: Luhut Binsar Buka Suara Soal Utang Whoosh Rp116 Triliun: Siapa yang Minta APBN?
Pagi itu, dia menyodorkan koran Republika yang memuat berita tentang Presiden Soeharto telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 42 Tahun 1994 untuk mengalihkan dana reboisasi bagi pembiayaan proyek pesawat terbang N-250 oleh PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
“Ini lho bacaan yang harus kamu baca untuk bisa memahami tentang dana reboisasi,” ujar Mas Sugeng dengan tulus.
Sore hari, saya pulang ke kampus untuk kembali bergabung dengan komunitas teater yang sedang latihan. Beberapa kawan bertanya-tanya tentang apa sih WALHI itu? Maklum, komunitas seniman teater kampus Ciputat saat itu kurang familiar dengan kiprah WALHI. Saya pun bingung untuk menjelaskannya. Saya hanya menjawab dengan kalimat pendek, “Wallahu a’lam bish-shawab.” Artinya “Allah Maha Tahu akan segala kebenaran.” Begitulah hari-hari pertama saya mengenal WALHI hingga bisa bertahan sampai 9 tahun berikutnya.
Hari ini, 15 Oktober 2025, saya kembali bertandang ke kantor WALHI untuk ikut merayakan ulang tahunnya yang ke-45. Saya menyimak diskusi bedah buku besutan Soraya Afif dan Julia Kalmirah tentang sejarah gerakan lingkungan di WALHI. Kesan paling terasa di benak saya tidak berubah. Di WALHI ini, banyak sekali orang-orang yang pintar sekali mengolah kata-kata saat menjelaskan masalah lingkungan beserta isu lain yang melingkupinya. Batin saya serasa terbang jauh kembali ke masa lalu ketika saya sering bengong karena sama sekali tidak memahami apa yang kawan-kawan bicarakan.
Baca Juga: DPR dan Mutu Rendah Legislasi