Ketiganya disidang di pengadilan pada 4 Maret. Tidak ada kata takut ataupun mundur. Mereka tegar dan siap menyampaikan pledoi. Meski akhirnya hakim menyatakan ketiganya bersalah, melanggar Pasal 510 KUHP tentang arak-arakan, dan didenda Rp 2.250,- atau kurungan 2 minggu. Keputusan hakim ditolak dengan tegas. Sayang, sidang selanjutnya tidak pernah terjadi karena Soeharto berhenti pada tanggal 21 Mei dan perkara tidak dilanjutkan.
Bisa dibayangkan betapa beraninya para ibu-ibu tersebut saat melakukan perlawanan terhadap rezim Orde Baru yang kejam. Tekanan mental saat proses interogasi tidak menyurutkan keberanian mereka. Mereka dituduh bagian dari Gerakan Komunis. Tuduhan itu menandakan kegagapan aparat dalam membaca peta gerakan dan latar belakang para perempuan yang mereka tangkap.
Gerakan Ibu yang Kembali Bangkit
Jumat, 28 Maret 2025 lalu, para ibu-ibu dan mahasiswa kompak hadir mengenakan pakaian putih untuk berorasi melawan tindakan represif aparat terhadap anak bangsa yang menolak UU TNI. Sejumlah perempuan dari berbagai organisasi dan komunitas berkumpul di depan Sarinah, Jakarta Pusat. Mereka tergerak untuk menyuarakan protes atas berbagai peristiwa kekerasan yang kerap dilakukan oleh aparat dalam menangani aksi demonstrasi.
Mereka juga meminta agar Undang-Undang TNI dibatalkan. Mereka yakin gerakan ini akan meluas di berbagai daerah seperti Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Tekad mereka sama, yaitu melawan setiap aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat di era rezim Prabowo Subianto yang dinilai akan melegalkan kembalinya dwifungsi militer. Suara Ibu Indonesia tidak akan berhenti pada aksi demonstrasi. Mereka akan terus mengawal kebijakan yang berlawanan dengan agenda reformasi.
Pesan Penting
Presiden Prabowo sebaiknya tidak mengabaikan tuntutan yang disampaikan oleh Gerakan Ibu-Ibu Peduli Indonesia ini. Pengabaian rezim Orde Baru yang pernah terjadi pada tahun 1998 hendaknya tidak terulang. Mengabaikan suara ibu-ibu dalam aksi demonstrasi justru akan sangat merugikan.
Spirit dan nilai yang diperjuangkan oleh para ibu-ibu yang tergabung dalam Gerakan Suara Ibu Peduli di tahun 1997 dan Gerakan Suara Ibu Indonesia yang muncul saat ini memiliki bobot pesan dan nilai kemanusiaan yang sama. Pesan itu muncul dari kalangan ibu-ibu terdidik, cerdik pandai yang memiliki integritas. Tuntutan itu muncul dari kepekaan batin serta keprihatinan yang begitu dalam sebagai seorang ibu. Kepekaan batin apa yang bisa melebihi kepekaan seorang ibu terhadap anaknya? Begitulah gerakan itu lahir, baik di saat krisis ekonomi tahun 1997 maupun di era Indonesia gelap saat ini.
Tuntutan keprihatinan itu tidak muncul dari suara ibu-ibu sosialita yang gemar memamerkan kemewahan dari uang hasil korupsi suami. Gerakan itu muncul dari keprihatinan yang begitu dalam akibat luka dan tangis seorang ibu yang menyaksikan perilaku kekerasan terhadap anak bangsa. Mengabaikan peringatan seorang ibu, sama dengan menggali lubang kesengsaraan yang akan sangat dalam.
Ketika para ibu sudah turun ke jalan, itu bisa menjadi pertanda bahwa kita sedang berada pada fase kedaruratan yang cukup serius untuk segera ditangani. Mari kita sama-sama waspada.***