HUKAMANEWS – Di era digital yang serba cepat ini, media sosial telah menjadi arena baru bagi perdebatan dan klaim kebenaran dalam beragama. Tulisan ini, yang ditulis oleh Ahsan Jamet Hamidi, anggota Dewan Pengarah SEKBER KBB, mengajak kita untuk merenungkan fenomena di mana individu merasa berhak untuk menyebarkan pandangan mereka tentang kemurnian ajaran agama, sering kali dengan cara yang provokatif dan menyalahkan praktik keagamaan orang lain.
Melalui pengamatan yang tajam dan refleksi mendalam, penulis menyoroti bagaimana sikap semacam ini tidak hanya berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan, tetapi juga dapat merusak hubungan antarumat beragama. Lebih lengkap, mari kita telusuri lebih dalam pandangan penulis mengenai pentingnya menjaga harmoni dalam keberagaman praktik keagamaan di tengah keragaman yang ada.
***
DALAM sebuah grup WhatsApp, ada seseorang yang gemar memposting video atau tulisan yang menurutnya adalah usaha dakwah untuk menegakkan kebenaran dan meniadakan kemungkaran. Penyebaran informasi copasan itu diakui sebagai jihad melalui media sosial menurut versinya. Konten video dan narasi yang disebarkan sangat provokatif. Isinya berupa ajakan untuk kembali pada pemurnian agama, mengikuti tuntunan dan praktik keagamaan persis seperti yang dulu dilakukan oleh Nabi.
Baca Juga: Kekuatan Sejati Lahir dari Ujian Terberat
Ajakan kembali pada kemurnian tersebut terkadang dikemas dengan kurang cermat. Ada ketidaksesuaian antara ucapan yang disampaikan oleh sang aktor dalam video dengan narasi yang ditulisnya. Mungkin, pilihan itu sengaja dilakukan agar apa yang ia sebarkan menarik perhatian. Pilihan hurufnya berkapital, dengan warna mencolok.
Bagi pengguna media sosial, konten seperti itu akan direspons secara beragam. Ada yang penasaran dengan isinya, lalu membukanya, kemudian baru bersikap—bisa percaya, bisa sebaliknya. Ada juga yang langsung tidak percaya dan langsung menghapusnya.
Konten narasi dan video yang disebarkan berisi ajakan agar umat Islam menjauhi praktik ibadah yang dinilai tidak murni, seperti yang dipraktikkan dan diajarkan oleh Nabi. Misalnya, ajaran tentang beribadah lebih intens di bulan Sya'ban. Pada bulan persiapan ini, umat Muslim dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah untuk menyambut Ramadhan dengan hati yang bersih dan siap secara spiritual. Kepercayaan itu tidak berlaku secara umum. Ada juga yang menganggap bahwa kepercayaan tersebut adalah perbuatan yang tidak meneladani Nabi secara utuh.
Baca Juga: Seporsi Mie Ayam, Ditulis Brian Khrisna Untuk Terus Menghargai Hidup
Pesan yang disebarkan memang terkesan menyalah-nyalahkan praktik ibadah di bulan Sya'ban yang dilakukan oleh orang lain. Mereka mendasarkan sikapnya pada dalil-dalil kitab suci. Merasa paling benar, paling murni, dan pemahaman keagamaannya dikesankan sebagai yang paling sesuai dengan praktik dan ajaran Nabi, menjadi cirinya. Praktik ibadah orang lain yang tidak sesuai dengan diri dan kelompoknya akan dianggap sesat, tidak sesuai dengan perbuatan atau perkataan yang pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Saya memprotes perilaku kawan tersebut. Perilaku menyalah-nyalahkan itu bisa menimbulkan ketidaknyamanan dan mengganggu relasi persaudaraan dalam beragama. Saya memintanya untuk lebih bijaksana, melihat dengan cermat substansi dan efek yang ditimbulkan dari praktik dan perilaku orang yang dia persalahkan. Adakah keburukan di situ? Adakah kerugian dan rasa tidak nyaman yang ditimbulkannya pada lingkungan sekitar?
Saya tidak menggunakan parameter dalil agama yang orientasinya pada salah dan benar, halal dan haram atas sikap protes saya. Mengapa begitu? Karena perdebatan soal itu tidak akan pernah ada habisnya. Meskipun demikian, ada rasa tidak nyaman dan sangat mengganggu yang langsung bisa dirasakan sebagai reaksi atas postingan dan sikap yang disebarkan oleh yang merasa paling benar itu.
Lalu apa yang terjadi? Saya dicap sebagai pribadi yang melawan ajaran tentang prinsip agama, yaitu "amar ma’ruf nahyi munkar" (perintah untuk menyuruh kebaikan dan mencegah kejahatan). Saya bertanya ulang, jika seseorang sudah bertekad menegakkan prinsip itu, lantas bolehkah menggunakan segala cara, termasuk menyalah-nyalahkan, meski hal itu bisa mengganggu kenyamanan orang lain? Menurut mereka, prinsip beragama itu harus hitam-putih, tidak ada tawar-menawar, kebenaran harus disampaikan dengan cara dan dalam situasi apapun. Saya diam, menghargai pendapatnya.