Kembali Pada Hakikat
Saya menghormati tumbuhnya gerakan pemurnian agama seperti yang digelorakan oleh kawan-kawan di grup WhatsApp tersebut. Di dalam sebuah komunitas, wajar jika seseorang harus membangun eksistensi dirinya, salah satu caranya dengan memposting hal-hal seperti itu. Saya menoleransi sikap mereka yang merasa sudah sangat yakin bahwa pemahaman keagamaan merekalah yang paling benar, sesuai dengan perilaku dan ajaran Nabi.
Saya memaklumi ketika mereka merasa paling sahih di antara sekian banyak varian pemahaman keagamaan yang beragam. Namun demikian, ekspresi keyakinan itu akan menjadi masalah ketika mereka sampaikan dengan sikap menyalahkan pemahaman, keyakinan, dan praktik keagamaan orang lain yang tidak seirama dengan mereka.
Baca Juga: Raja Kecil, ASN Nakal, dan Gaduhnya Efisiensi Anggaran
Hemat saya, ketika ada orang yang merasa tidak nyaman karena telah disalah-salahkan, bukan berarti ia sedang melawan kebenaran mutlak sesuai dalil dari Al-Qur'an dan Al-Hadis. Mengapa tuduhan itu tidak bisa dibenarkan? Karena praktik keagamaan orang yang dipersalahkan itu juga memiliki dalil dari Al-Qur'an dan Al-Hadis. Untuk menakar kebenarannya, tentu tidak bisa dilakukan secara hitam-putih, menurut ukuran pemahaman dirinya saja.
Semoga praduga saya tidak keliru, bahwa praktik keagamaan umat Islam yang hidup di zaman ini sejatinya hanyalah meniru praktik keagamaan orang lain. Orang lain itu pun juga meniru generasi sebelumnya yang terus bermuara pada sahabat Nabi dan Nabi sendiri. Sedangkan praktik ibadah para sahabat dan Nabi sudah berlangsung selama ribuan tahun lalu.
Siapakah yang paling tahu akan keotentikan sebuah ajaran agama? Semua mendaku paling murni, paling otentik, dan paling benar, sesuai dasar hukum agamanya masing-masing. Lalu, siapakah sejatinya yang paling berhak menjadi hakim yang bisa memutuskan kebenaran secara mutlak atas berbagai klaim kebenaran tersebut?
Baca Juga: PGI Tolak Mengelola Tambang, Berbeda dengan Muhammadiyah dan NU
Jangan-jangan, level kebenaran dari praktik peribadatan yang saya jalani selama ini baru sampai pada tingkat merasa atau paling tinggi meyakini bahwa itu sudah benar. Kebenaran paling mutlak akan diputuskan oleh Allah, sebagai hakim yang Maha Adil di kehidupan akhirat nanti. Di dunia ini, saya hanya sebatas merasa, meyakini, dan berharap bahwa praktik keagamaan yang saya lakukan selama ini bisa sesuai dengan kehendak dan ridho Allah. Sikap dan perasaan ini terus saya pelihara sebagai peneguhan bahwa saya hanyalah makhluk Allah dengan tingkat pengetahuan yang sangat terbatas. Untuk itu, rasanya malu jika harus merasa paling benar, lalu menyalah-nyalahkan orang lain.
Semoga orientasi keagamaan saya tidak bertujuan untuk menyalah-nyalahkan orang yang memiliki pemahaman dan praktik keagamaan yang berbeda dengan saya. Menghormati segala perbedaan praktik peribadatan yang dilakukan dengan beragam cara oleh umat Islam adalah keniscayaan. Mempraktikkan prinsip "amar ma’ruf nahyi munkar" (perintah untuk menyuruh kebaikan dan mencegah kejahatan) bisa dilakukan secara proporsional, dalam artian tetap harus menggunakan tata krama sehingga substansinya tersampaikan dan orang lain tidak tersinggung.
Hemat saya, kebajikan agama haruslah dipraktikkan dengan cara yang baik dan bijak sehingga mampu menumbuhkan kemaslahatan bagi kehidupan bersama yang sarat dengan perbedaan.***
Artikel Terkait
Menjaga Vibrasi Positif dan Keyakinan di Tengah Badai
Rahasia Mengapa yang Untung Semakin Beruntung
Bripka Ristomo: Polisi, Guru Ngaji, dan Pejuang Pendidikan Anak Kampung Gunung Sindur
Mengapa Ada Konflik (atas nama) Agama
Beragama: Memperebutkan Klaim Kebenaran vs Menghormati Perbedaan