Humor Kekerasan Polisi di Bioskop, Amarah di Dunia Nyata; Belajar dari Film Komedi Agak Laen 2: Menyala Pantiku

photo author
- Senin, 15 Desember 2025 | 07:40 WIB
Ahsan Jamet Hamidi, mantan Staf WALHI
Ahsan Jamet Hamidi, mantan Staf WALHI

Kekerasan nyata yang dilakukan polisi di Kalibata dan kekerasan yang digambarkan dalam film Agak Laen 2 memang tidak saling terkait. Keduanya hanya bertemu secara kebetulan dalam momentum yang bersamaan. Apalagi, film ini sedang berada di puncak popularitas. Hingga Minggu, 14 Desember 2025, Agak Laen 2: Menyala Pantiku telah ditonton lebih dari tujuh juta penonton dan menjadi salah satu film Indonesia terlaris.

Adegan kekerasan oleh polisi dalam film tersebut tentu tidak disajikan tanpa maksud. Dalam banyak film produksi Hollywood, Mandarin, Jepang, Korea, India, Turki, hingga Eropa, kekerasan oleh aparat penegak hukum merupakan hal yang jamak. Bahkan, sering kali adegan tersebut menjadi bumbu yang meningkatkan daya tarik dan peringkat tontonan.

Baca Juga: Skema Ponzi Wedding Organizer Ayu Puspita Terbongkar, Janji Pernikahan Mewah Berujung Kerugian Rp11,5 Miliar

Kekerasan yang penuh heroisme—bahkan brutal—kerap digambarkan sebagai upaya polisi menumpas kejahatan. Namun, tak jarang pula kekerasan itu ditampilkan sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan tertentu. Lantas, mengapa film bergenre aksi tetap terasa menarik ketika menampilkan kekerasan oleh polisi?

Jawabannya bisa beragam. Bisa jadi, secara naluriah, penonton merasa puas melihat pelaku kejahatan diberantas karena kehadiran mereka mengganggu rasa aman masyarakat. Ketika polisi digambarkan bertindak tegas dan terampil, apresiasi publik pun muncul. Sebaliknya, ketika polisi melakukan kekerasan demi melindungi atau menguntungkan pelaku kejahatan, kecaman dan caci maki akan berdatangan.

Adegan dalam film bisa jadi hanya mereplikasi realitas dari dunia nyata. Para pembuat film sekadar memindahkan kenyataan tersebut ke layar, tentu dengan tambahan bumbu dramatik agar lebih menarik. Namun, gambaran itu tidak lahir dari ruang hampa.

Baca Juga: Mantan Pejabat dan Tradisi Melupakan: Rapuhnya Etika Kekuasaan

Terlepas dari apakah kekerasan itu terjadi di dunia nyata atau hanya di layar film, saya memilih untuk tidak menormalisasi tindakan kekerasan polisi yang dilakukan secara brutal, meskipun dengan dalih menindak kejahatan atau menciptakan efek jera. Dalam negara hukum, aparat memang diberi kewenangan untuk bertindak, termasuk menggunakan kekuatan secara terukur dan proporsional sesuai tingkat ancaman. Namun, kekerasan dalam bentuk apa pun—baik verbal maupun fisik—tidak dapat dibenarkan jika hanya diniatkan untuk memperoleh pengakuan atau informasi secara instan.

Poster Film Komedi Agak Laen 2: Menyala Pantiku
Poster Film Komedi Agak Laen 2: Menyala Pantiku

Langkah Polda Metro Jaya yang menangkap enam anggota Yanma Mabes Polri dalam kasus pengeroyokan di Kalibata menjadi bukti bahwa tindakan main hakim sendiri tidak dibenarkan terhadap siapa pun. Terlebih, aksi tersebut memicu kerusuhan dan menimbulkan kerugian besar bagi warga sekitar, seperti pembakaran kendaraan dan lapak pedagang. Polisi yang melakukan pelanggaran tidak akan mendapatkan impunitas, meskipun tindakan itu dilakukan atas nama solidaritas atau penegakan hukum.

Kembali pada film komedi Agak Laen 2: Menyala Pantiku yang diproduseri oleh Ernest Prakasa, pesan serupa juga tersampaikan: kekerasan polisi terhadap terduga pelaku kejahatan tetap tidak dibenarkan, apa pun alasannya. Bahkan, dalam cerita tersebut, keempat polisi harus menerima hukuman pemberhentian dengan tidak dengan hormat alias dipecat, sehingga orang tersebut kehilangan status, hak, dan kehormatan yang melekat pada jabatan itu.

Gelak tawa di dalam bioskop semoga tidak membuat kita abai terhadap luka di dunia nyata. Kekuasaan sekecil apa pun, ketika dijalankan tanpa kontrol ketat, hanya akan melahirkan ketakutan, bukan keadilan. Polisi yang kuat bukanlah yang paling keras memukul, melainkan yang paling mampu menahan diri demi kemanusiaan dan hukum.*** 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Jukung Julak: Rumah Makan yang Menyimpan Ribuan Doa

Rabu, 19 November 2025 | 20:13 WIB

Soal Gelar Pahlawan Soeharto, Saya Berbeda Pandangan

Minggu, 9 November 2025 | 06:05 WIB

45 Tahun WALHI: Gerakan Tanpa Kultus

Jumat, 17 Oktober 2025 | 15:38 WIB

Ketika Para Ibu Sudah Turun ke Jalan

Senin, 31 Maret 2025 | 13:18 WIB
X