HUKAMANEWS - Lampu bioskop padam. Tawa meledak. Polisi digambarkan kikuk, salah arah, salah pukul. Kita tertawa lepas. Namun di luar layar, kabar lain menyergap: kekerasan polisi yang benar-benar menewaskan. Humor dan horor bertabrakan di waktu yang nyaris bersamaan. Film Agak Laen 2: Menyala Pantiku mengajak kita menertawakan kekacauan aparat. Dunia nyata memaksa kita menelan amarah yang pahit. Di titik itulah opini ini berdiri. Menggugat tawa, menguji nurani, dan menolak lupa.
Ditulis oleh Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Ciputat, Tangerang Selatan, tulisan ini mengajak pembaca melihat bagaimana kekerasan bisa terasa lucu di layar, tetapi selalu menyisakan luka di kehidupan sehari-hari. Sebab, tak semua yang mengundang tawa pantas dinormalkan. Berikut catatan lengkapnya:
***
“GOBLOK kalian! Kalian telah melakukan kekerasan yang tidak perlu. Korbannya bukan penjahat yang sedang kita target, melainkan seorang polisi yang sedang menyamar untuk menjebak pengedar narkoba. Lebih fatal lagi, polisi yang menjadi korban itu adalah keponakan Kapolres!”
Makian penuh amarah dengan nada tinggi itu keluar dari mulut seorang perwira pertama Polisi yang menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal di sebuah polres. Empat bintara polisi dimarahi habis-habisan karena gagal menangkap pelaku kejahatan. Alih-alih menangkap target yang benar, mereka justru salah sasaran dan melakukan kekerasan hingga berakibat fatal.
Keempat bintara yang digambarkan bersuku Batak itu tampak bingung dan kikuk. Mereka saling pandang, tak mampu memberikan alasan apa pun selain kalimat pendek, “Maaf, siap salah, Ndan.”
Penyebab kesalahan itu ternyata sangat sepele: mereka salah memahami perintah arah dari komandan. Perintahnya jelas, “Target ada di samping gudang kosong arah tenggara.” Namun, ketika ditanya, “Mana arah tenggara?”, keempat polisi itu justru menunjuk ke empat arah berbeda. Tak satu pun mengarah ke tenggara.
Kisah tersebut tentu bukan kejadian nyata. Saya hanya menyuplik adegan dari film komedi Agak Laen 2: Menyala Pantiku yang ditulis dan disutradarai oleh komedian Muhadkly Acho. Film berdurasi 1 jam 59 menit ini tayang di bioskop sejak 27 November 2025. Sejak menit pertama hingga akhir cerita, saya bersama penonton lainnya dibuat tertawa tanpa henti.
Film ini berkisah tentang empat polisi—Bene, Boris, Jegel, dan Oki—yang selalu gagal setiap kali hendak menangkap penjahat. Hal itu membuat Kapolres sangat jengkel. Meski demikian, mereka masih diberi satu kesempatan terakhir untuk menangani kasus besar: pembunuhan anak wali kota yang telah menjadi perhatian publik. Jika kembali gagal, sanksi berat menanti mereka. Dari sinilah kisah penyamaran para polisi itu bermula, lengkap dengan perilaku lucu, konyol, dan humor segar yang mengocok perut penonton.
Kekerasan Polisi
Di luar layar bioskop, kisah yang sama sekali tidak lucu terjadi di dunia nyata. Pada pekan ini, warga Jakarta dan sekitarnya dikejutkan oleh aksi enam anggota polisi yang melakukan pengeroyokan terhadap dua orang debt collector hingga tewas pada Kamis (11/12/2025) di dekat TMP Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan. Keenam pelaku merupakan anggota Satuan Pelayanan Markas (Yanma) Mabes Polri.
Aksi pengeroyokan tersebut memicu kerusuhan di sekitar lokasi, termasuk pembakaran lapak pedagang di kawasan Kalibata. Para polisi itu diduga melakukan pelanggaran kode etik profesi Polri kategori berat (sumber: Kompas.com).
Artikel Terkait
45 Tahun WALHI: Gerakan Tanpa Kultus
Ekokrasi: Keadilan Lingkungan dan Peran Agama di Indonesia
Tauhid Lingkungan: Menyemai Gerakan Kultural untuk Merawat Semesta
Menyalakan Energi Berdaulat dari Pelosok Nusantara, Merangkai Inspirasi dari Kisah Nyata
Soal Gelar Pahlawan Soeharto, Saya Berbeda Pandangan
Jukung Julak: Rumah Makan yang Menyimpan Ribuan Doa
Media, Minoritas, dan Krisis Iklim: Membangun Narasi yang Lebih Adil