Secara rinci, Eko menemukan adanya praktik instrumentalisasi, politisasi, dan komodifikasi agama untuk tujuan politik pragmatis. Terdapat pula monopoli dan reduksi tafsir atas kitab suci untuk kepentingan pribadi dan kelompok, serta absolutisme dan monopoli tafsir “kebenaran” agama oleh golongan tertentu. Yang memprihatinkan, muncul fenomena holy grabbing, yaitu perampasan ruang hidup rakyat dengan legitimasi kesucian (agama).
Baca Juga: “Mental Stunting” Pejabat
Selain temuan di atas, ada hambatan yang dialami oleh para penganut agama untuk bisa memberikan kontribusi dalam agenda pencegahan ancaman kerusakan iklim. Pendeta Jimmy M. I. Sormin memandang bahwa selama ini peran kelompok agama hanya ditempatkan sebagai bagian dari komponen “proyek”, bukan sebagai leading sector. Di komunitas akademis, mereka juga hanya dianggap sebagai objek penelitian yang menarik sesuai selera “pasar”. Tidak heran jika mereka sering terjebak pada aktivitas seremonial saja. Tragisnya, ketika dukungan dana untuk kegiatan agama dan lingkungan selesai, berhenti pula program seremonial bersama umat itu.
Perbedaan klaim dan pandangan tersebut lumrah selama terjadi di ruang diskusi seperti dalam perhelatan itu. Semua akan selesai di situ. Perbedaan pendapat yang berpangkal pada keragaman sudut pandang para penganut agama adalah hal yang wajar. Namun, ketika perbedaan itu berlanjut pada sikap dan pilihan perilaku diskriminatif serta intoleran terhadap penganut agama lain, hal itu harus dicegah.
Mencegah Ancaman Diskriminasi dan Intoleransi
Dalam pandangan Samsul Maarif, Kepala Program Magister di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, praktik diskriminasi dan intoleransi terhadap agama leluhur masih terjadi di ranah sosial dan ruang publik. Faktor penyebabnya beragam, salah satunya adalah pendidikan dan pengelolaan agama yang membatasi keragaman hanya pada enam agama resmi. Atas dasar itulah konferensi seperti ini rutin dilakukan, salah satunya bertujuan untuk membuka ruang perjumpaan antar mereka yang selama ini berbeda pandangan dan keyakinan, sehingga dapat saling mengungkapkan pandangan yang berbeda-beda secara sehat.
Secara normatif, seharusnya bangsa Indonesia sudah tidak memiliki masalah dengan harmoni antarpemeluk agama apa pun. Konstitusi negara telah memberikan jaminan terhadap kesetaraan semua agama, termasuk agama leluhur (indigenous religions). Para penganut agama apa pun di Indonesia harus dilayani secara adil oleh negara. Semua pemeluk agama mesti dijamin kemerdekaannya dalam meyakini dan menjalankan agamanya masing-masing. Masalah-masalah sosial masih terus terjadi karena adanya regulasi dan implementasi pengelolaan agama, seperti pendidikan agama/kepercayaan, pernikahan, dan layanan publik lainnya kepada penganut agama leluhur, yang dijalankan oleh aparatur negara secara diskriminatif. Mereka menggunakan sebagian regulasi sebagai sandaran sikap diskriminatifnya.
Baca Juga: Aqua Terancam ‘Haram’, Ketika Sumber Air Tak Lagi Sejernih Iklannya
Perjalanan menuju ekokrasi dapat dilakukan dengan semangat keselarasan dalam merawat alam secara lestari sekaligus menghormati keberagaman keyakinan, seperti yang diajarkan oleh alam itu sendiri. Planet Bumi, meskipun isinya sangat beragam, semestinya tetap bisa hidup dalam harmoni. Perjuangan untuk mewujudkan keadilan iklim dan keadilan spiritual harus berjalan beriringan, karena saat kita sedang berusaha menjaga planet, upaya itu harus senapas dengan menjaga kemanusiaan.***
Artikel Terkait
Kekuatan Sejati Lahir dari Ujian Terberat
Mengapa Ada Konflik (atas nama) Agama
Adakah Bantuan Hukum Cuma-Cuma Bagi Tahanan Rentan?
Beragama dengan Nalar Segar
Menjaga Ruang Kebebasan Berekspresi dari Ancaman Kepala Babi
Ketika Para Ibu Sudah Turun ke Jalan
45 Tahun WALHI: Gerakan Tanpa Kultus