Baca Juga: Masyarakat Kini Punya Pilihan Berbelanja di Mentarimart yang Baru Diluncurkan PP Muhammadiyah
Problematika Bantuan Hukum Pro Bono
CDS (Center for Detention Studies), lembaga yang selama ini berkutat dengan isu-isu pemasyarakatan, pernah mengeluarkan hasil studi mengenai praktik bantuan hukum yang diberikan oleh advokat kepada warga binaan. Beberapa temuan penting dari studi tersebut adalah:
- Banyak Rutan di Indonesia yang belum memiliki ruang pertemuan yang nyaman untuk digunakan sebagai tempat pelayanan bantuan hukum. Padahal, kebutuhan akan ruang yang nyaman sangat penting untuk kegiatan edukasi, penyuluhan, konsultasi, hingga ruang privat yang bisa digunakan untuk berdiskusi secara intens dan menjaga kerahasiaan antara advokat dan klien.
- Informasi tentang layanan bantuan hukum sudah dibuat berdasarkan peraturan yang rinci oleh pemerintah. Sayangnya, substansinya terkadang tidak mudah dipahami oleh orang awam, selain mereka yang berpengalaman atau memiliki latar belakang hukum. Petugas pemasyarakatan yang mengampu tugas itu perlu mendapatkan pelatihan atau bimbingan teknis agar kemampuannya meningkat.
- Ada keluhan dari para advokat yang akan memberikan bantuan hukum terkait kebijakan Kepala Rutan yang dinilai terlalu birokratis, membatasi hak, dan hanya organisasi bantuan hukum yang terakreditasi saja yang bisa memberikan bantuan hukum. Setelah dikonfirmasi, ternyata munculnya kebijakan ini lebih dilatarbelakangi oleh sikap kehati-hatian dari Kepala Rutan. Advokat dan Kepala Rutan memiliki kepentingan yang sama-sama penting. Advokat berkewajiban mendampingi warga binaan dalam mendapatkan hak atas bantuan hukum, sementara Kepala Rutan harus menjaga keamanan warga binaan selama berada di Rutan. Komunikasi antar para pihak sangat diperlukan untuk kepentingan bersama.
- Tidak mudah untuk menghadapi rasa "trauma" yang dialami oleh para tahanan karena performa pendampingan dari para advokat yang dirasa kurang memuaskan. Di Indonesia, ada ketidakseimbangan antara jumlah advokat yang mampu memberikan layanan bantuan hukum dengan jumlah tahanan yang membutuhkan. Hal ini sering terjadi di Rutan di kota besar, seperti Surabaya dan Jabodetabek. Akibatnya, terjadi antrean panjang dalam setiap kegiatan layanan bantuan hukum. Terobosan kreatif sering dilakukan oleh petugas Rutan, seperti membuka hotline layanan melalui telepon.
Teori dan Praktik
Pro bono dan bantuan hukum adalah bentuk pemberian bantuan hukum kepada warga tidak mampu secara cuma-cuma. Ia menjadi kewajiban advokat, dan dananya berasal dari advokat, sementara bantuan hukum adalah program negara yang anggarannya dari APBN. Pemberian bantuan hukum secara pro bono adalah perintah dalam UU tentang Advokat pada Pasal 22. Advokat dianjurkan memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sedikitnya 50 jam setiap tahun. Bagi advokat yang tidak memenuhi anjuran tersebut, proses perpanjangan kartu advokatnya bisa ditolak.
Baca Juga: Danantara, antara Optimisme dan Bayang-Bayang Korupsi di Lingkaran Elite
Negara melalui APBN telah mengatur pengalokasian anggaran bantuan hukum. Ketetapan itu untuk menjamin agar hak warga negara dalam memperoleh keadilan bisa terpenuhi. Layanan yang diberikan oleh organisasi bantuan hukum atau organisasi advokat juga telah diatur di dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Bantuan Hukum.
Dalam praktiknya, proses pemberian bantuan hukum pro bono tidak semulus cerita yang dialami oleh Wija dan Wisnu. Masih banyak advokat yang abai terhadap kewajiban pro bononya. Evaluasi dari pemerintah dan organisasi advokat sangat diperlukan untuk memastikan standar layanan bantuan hukum dijalankan secara profesional dan etis.***
Artikel Terkait
Kita dan Konglomerat Sederajat
Korupsi dan Ironi Demokrasi, ketika Suara Rakyat Dijual di Pasar Gelap
Megawati dan Pembangkangan Politik
Agama dan Kebahagiaan
Danantara, antara Optimisme dan Bayang-Bayang Korupsi di Lingkaran Elite