Karena itu, sikap terbuka Kejagung dinilai krusial untuk menjaga prinsip equality before the law.
OTT KPK dilakukan pada Kamis, 18 Desember 2025, di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Dalam operasi tersebut, KPK menangkap enam orang, termasuk Kepala Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara Albertinus Parlinggoman Napitupulu dan Kepala Seksi Intelijen Asis Budianto.
Keduanya diduga terlibat tindak pidana pemerasan.
KPK juga menyita barang bukti berupa uang tunai ratusan juta rupiah.
Meski nilai pastinya belum diumumkan secara resmi, penyitaan ini memperkuat dugaan praktik koruptif di level pimpinan kejaksaan daerah.
Anang Supriatna mengakui hingga kini Kejagung belum menerima informasi resmi secara lengkap dari KPK.
Ia juga belum dapat memastikan apakah penanganan perkara tersebut nantinya akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung atau tetap sepenuhnya ditangani KPK.
“Kita tunggu saja. Saya belum dapat informasi resmi,” katanya.
Dari sisi KPK, Juru Bicara Budi Prasetyo menyampaikan bahwa komunikasi dengan Kejaksaan Agung berjalan intensif.
Menurutnya, kedua lembaga memiliki visi dan misi yang sama dalam pemberantasan korupsi.
“KPK dan Kejagung punya komitmen yang sama kuat dalam upaya pemberantasan korupsi, termasuk melalui operasi tangkap tangan di Kalimantan Selatan,” ujar Budi.
Pernyataan ini menegaskan bahwa OTT terhadap jaksa tidak dilihat sebagai konflik antar lembaga.
Baca Juga: Mahfud MD Serap Aspirasi Bali soal Reformasi Polri, Dari Seragam hingga Standar Pendidikan Polisi
Sebaliknya, peristiwa ini diposisikan sebagai bagian dari upaya membersihkan institusi negara dari praktik korupsi.
Dalam perspektif tata kelola hukum, kasus jaksa ditangkap KPK menjadi pengingat bahwa pengawasan internal masih memiliki celah.
Data KPK dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan aparat penegak hukum tetap termasuk kelompok rawan korupsi.