Hal ini menandakan bahwa reformasi birokrasi di sektor hukum belum sepenuhnya tuntas.
Kepercayaan publik terhadap penegakan hukum sangat bergantung pada konsistensi tindakan.
Jika Kejagung benar-benar tidak mengintervensi dan KPK bekerja transparan, kasus ini dapat menjadi preseden positif.
Sebaliknya, jika muncul kesan perlindungan internal, dampaknya akan merusak legitimasi kedua lembaga.
Kasus jaksa Hulu Sungai Utara yang ditangkap KPK menempatkan Kejaksaan Agung di bawah sorotan tajam publik.
Pernyataan nonintervensi yang disampaikan Kapuspenkum menjadi langkah awal yang penting, tetapi belum cukup tanpa pembuktian nyata.
OTT ini seharusnya menjadi momentum evaluasi menyeluruh, mulai dari sistem pengawasan, pembinaan etik, hingga penindakan tegas di internal kejaksaan.
Publik menanti bukan hanya pernyataan, tetapi juga tindakan konkret yang menunjukkan keberpihakan pada keadilan.
Jika ditangani secara transparan dan profesional, kasus ini dapat memperkuat pesan bahwa tidak ada aparat yang kebal hukum.
Di situlah kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi akan kembali menemukan pijakannya.***
Artikel Terkait
Riau Kembali Gempar, Gubernur Riau Abdul Wahid Terjaring OTT KPK dengan Dugaan Suap Proyek PUPR
5 Orang Diciduk OTT, Termasuk Bupati Lampung Ardito Wijaya Datang Bawa Koper ke KPK
KPK Ungkap Kronologi OTT Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya, Dimulai dari Permintaan Keterangan di Dua Daerah
KPK Sita Rp193 Juta dan 850 Gram Emas dari OTT Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya
Uang Rp900 Juta Disita dari OTT Jaksa di Banten, Dua Pengacara Ikut Diamankan KPK