Kritik publik menguat karena momen tersebut terjadi ketika sejumlah daerah di Sumatera tengah dilanda banjir bandang dan tanah longsor yang menelan korban jiwa, memaksa ribuan warga mengungsi, serta melumpuhkan akses logistik.
Bagi masyarakat, simbol memiliki makna.
Ketika pejabat tinggi negara tampil menikmati olahraga eksklusif di tengah situasi darurat nasional, persepsi ketidakpedulian sulit dihindari, terlepas dari apakah kegiatan tersebut dilakukan pada hari libur atau bersifat pribadi.
Reaksi publik pun mengalir deras di kolom komentar akun Instagram yang pertama kali mengunggah video tersebut, @jabodetabek24info.
Sebagian netizen menyampaikan kekecewaan, sebagian lain mempertanyakan sensitivitas moral seorang pejabat publik.
Salah satu komentar menyebutkan bahwa di negara lain, pejabat dengan posisi strategis akan menunjukkan sikap rendah hati, bahkan memilih mundur, ketika dinilai gagal menjaga empati publik.
Komentar lain menyindir kontras antara citra pejabat di ruang konferensi pers dan realitas perilaku yang tertangkap kamera warga.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kinerja Badan Gizi Nasional yang belakangan juga kerap disorot.
Mulai dari polemik program Makan Bergizi Gratis, isu anggaran, hingga berbagai insiden teknis di lapangan, BGN berada dalam sorotan publik yang intens.
Dalam perspektif komunikasi krisis, pakar tata kelola publik menilai bahwa waktu dan konteks adalah segalanya.
Kegiatan personal yang sebenarnya sah secara hukum dapat berubah menjadi bumerang reputasi ketika dilakukan di tengah krisis kemanusiaan.***
Di era media sosial, pejabat publik tidak lagi hanya berhadapan dengan kamera resmi, tetapi juga kamera warga.
Setiap aktivitas berpotensi menjadi konsumsi publik, dan setiap simbol dapat memengaruhi legitimasi kepemimpinan.