Penambahan Petugas Haji TNI-Polri memberi sinyal bahwa pemerintah memasuki era baru penyelenggaraan ibadah haji berbasis disiplin, keamanan, dan perlindungan medis.
Selama ini, tugas pengamanan dan penertiban di area Mekkah dan Madinah banyak bergantung pada koordinasi dengan otoritas setempat.
Latar belakang demografi jemaah turut menjadi faktor. Berdasarkan tren delapan tahun terakhir, rerata jemaah lansia berada pada angka 40–50 persen dari total kuota keberangkatan.
Kondisi ini memengaruhi pola pelayanan yang kini harus lebih sigap, humanis, dan berkelanjutan.
Sejumlah pengamat kebijakan haji juga menilai bahwa langkah ini dapat meminimalkan potensi penumpukan jemaah saat puncak haji, terutama di area Mina dan Arafah yang sering menjadi titik rawan kelelahan dan insiden kesehatan mendadak.
Kebijakan Adaptif untuk Daerah Terdampak Bencana
Dalam kesempatan yang sama, Dahnil mengumumkan penundaan seleksi PPIH di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menyusul bencana banjir dan tanah longsor.
Realokasi waktu seleksi ini dilakukan agar aparatur dan masyarakat dapat fokus pada pemulihan.
Selain itu, pemerintah juga memberikan relaksasi pembayaran biaya pelunasan haji untuk calon jemaah dari tiga provinsi tersebut. Batas pelunasan yang seharusnya selesai 24 Desember akan diperpanjang hingga situasi memungkinkan.
Kebijakan ini diapresiasi publik sebagai bentuk kehadiran negara yang responsif dan peka terhadap situasi krisis. Di media sosial, sejumlah komentar menyebut langkah ini “manusiawi dan bijak”, mengingat banyak masyarakat kehilangan aset dan dokumen akibat bencana.
Jika direalisasikan dengan perencanaan matang, penambahan Petugas Haji TNI-Polri dapat menjadi formula baru dalam tata kelola ibadah haji Indonesia. Namun, beberapa catatan penting perlu dibahas:
Pembiayaan dan alokasi anggaran dalam skema BPKH.
Pelatihan khusus ibadah haji agar petugas tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga empatik dan paham fikih haji.