Penangkapan Abdul Wahid menjadi tamparan keras bagi sistem birokrasi di daerah. Riau, yang memiliki potensi ekonomi besar dari sektor perkebunan dan migas, kerap diwarnai isu korupsi pejabat publik.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai kasus seperti ini menunjukkan masih belum efektifnya penerapan prinsip good governance.
“Transparansi anggaran dan pengawasan internal harus diperkuat. Jika kepala daerah masih bermain di proyek, berarti sistemnya belum berjalan,” ujarnya.
KPK diharapkan tidak hanya berhenti pada penindakan, tapi juga memperkuat upaya pencegahan di tingkat daerah.
Publik Menunggu Ketegasan KPK
Dalam waktu 24 jam ke depan, publik menanti hasil pemeriksaan intensif KPK untuk menentukan status hukum Abdul Wahid dan pejabat lain yang terjaring.
Jika terbukti menerima suap, sang gubernur berpotensi dijerat dengan pasal gratifikasi sesuai UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Kasus ini diharapkan menjadi momentum bagi pemerintah pusat dan daerah untuk memperkuat sistem integritas publik dan membangun budaya antikorupsi yang lebih kokoh.
Korupsi bukan hanya persoalan hukum, tapi juga moral dan kepercayaan publik dan setiap OTT seperti ini seharusnya menjadi pengingat keras bagi seluruh pejabat publik di Indonesia.