Dalam konteks politik Indonesia yang tengah bergerak menuju pemerintahan baru, penegasan ini dianggap penting untuk memperluas peran Projo sebagai gerakan sosial-politik yang tidak terikat pada satu figur.
Transformasi, Bukan Kultus Individu
Budi Arie juga menegaskan alasan utama perubahan logo Projo agar tidak menimbulkan kesan kultus terhadap satu individu.
“Kami tidak ingin Projo seolah mengkultuskan seseorang dalam perjalanannya,” ungkapnya.
Ia menilai, transformasi organisasi menjadi kunci agar Projo tetap relevan dalam dekade mendatang, tanpa kehilangan nilai dasar perjuangannya untuk rakyat.
Pernyataan ini mendapat beragam tanggapan dari publik.
Sebagian menilai langkah ini sebagai bentuk kedewasaan politik dan tanda bahwa relawan era Jokowi mulai menemukan identitas baru di masa pemerintahan Prabowo-Gibran.
Namun, sebagian lainnya tetap menganggap bahwa langkah tersebut bisa menjadi ujian loyalitas bagi para kader lama yang sangat identik dengan Jokowi.
Projo di Persimpangan, Tapi Tak Kehilangan Arah
Perubahan identitas visual dan arah dukungan politik memang kerap menimbulkan spekulasi.
Namun, Budi Arie memastikan bahwa Projo tetap memegang nilai-nilai dasar yang dibangun sejak era Jokowi: semangat kerakyatan, gotong royong, dan keberpihakan pada rakyat kecil.
Transformasi yang dilakukan disebut sebagai bagian dari perjalanan alami organisasi yang ingin tetap hidup di tengah perubahan politik Indonesia.
Budi menutup pidatonya dengan pesan bahwa Projo akan terus menjadi bagian dari sejarah panjang kepemimpinan rakyat, baik bersama Jokowi maupun pemerintahan selanjutnya.
“Pemimpin sejati lahir untuk memimpin rakyat, bukan untuk diabadikan dalam logo,” ucapnya menegaskan semangat baru Projo.***