HUKAMANEWS — Proyek sistem perpajakan Coretax senilai Rp1,3 triliun kini jadi sorotan tajam. Kritik bermula dari pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyebut kualitas sistem digital itu “seperti buatan anak SMA”. Tak butuh waktu lama, anggota DPR dan sejumlah ekonom mendesak agar proyek warisan era Sri Mulyani itu diaudit secara menyeluruh.
Anggota Komisi XI DPR RI, Amin Ak, menilai kasus Coretax adalah cermin buruknya perencanaan dan pengawasan proyek digital di kementerian. Ia menegaskan, dana sebesar Rp1,3 triliun yang bersumber dari uang rakyat harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.
“Uang negara yang besar harus bisa dipertanggungjawabkan. Jangan sampai rakyat rugi dua kali—uangnya dipakai, tapi hasilnya justru merepotkan,” ujar Amin di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Menurut Amin, transformasi digital seharusnya menghadirkan efisiensi dan kemudahan bagi masyarakat, bukan menambah beban baru. Ia menilai proyek besar seperti Coretax semestinya digarap oleh tenaga ahli yang memahami teknologi informasi dan sistem perpajakan, bukan sekadar kontraktor yang mengejar tender.
“Kalau mau digitalisasi pajak, pastikan dikerjakan oleh orang yang benar-benar paham teknologi. Jangan asal dapat proyek,” tegasnya.
Sistem Bermasalah, Data Tak Sinkron
Sejak diluncurkan, Coretax digadang-gadang menjadi tulang punggung modernisasi sistem pajak Indonesia. Namun, kenyataannya jauh dari harapan. Sejumlah pengguna mengeluhkan sistem yang sering error, data wajib pajak yang tak sinkron, hingga gangguan dalam pelayanan publik.
Baca Juga: Kasus Penghasutan Ricuh Demo, Hakim Tolak Praperadilan Delpedro, Lokataru Kena Guncangan Besar!
“Bayangkan, proyek senilai Rp1,3 triliun tapi sistemnya kerap bermasalah. Ini jelas mengecewakan,” ujar Amin.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sendiri mengakui kualitas sistem itu memang bermasalah. Ia bahkan menyebut hasil audit internal menemukan kejanggalan dalam kode program yang dinilai amatir.
“Begitu tim saya lihat source code-nya, mereka bilang, ini seperti dibuat programmer tingkat SMA,” ujar Purbaya di Kantor Kemenkeu, Jumat (24/10/2025).
Purbaya juga mengungkap bahwa sistem tersebut dikembangkan oleh perusahaan asing, LG CNS, selama empat tahun, namun hasilnya tak memenuhi standar.
“Bagian atas dan tengah sistem masih bisa diperbaiki, tapi yang dikerjakan oleh pihak LG tidak bisa diselamatkan,” ujarnya.