HUKAMANEWS — Temuan hasil inspeksi mendadak (sidak) Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di salah satu sumber air kemasan merek Aqua di Subang, Jawa Barat, memicu gelombang kritik dari publik dan lembaga perlindungan konsumen.
Pasalnya, dari sidak tersebut terungkap bahwa sumber air mineral yang digunakan berasal dari sumur bor, bukan dari mata air alami sebagaimana citra yang selama ini melekat pada produk tersebut.
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, menilai temuan ini bukan sekadar persoalan etik korporasi, melainkan dapat berimplikasi hukum.
“Konsumen percaya bahwa air kemasan Aqua lebih sehat dan berasal dari sumber alami. Keyakinan itu runtuh setelah diketahui sumber airnya ternyata dari sumur bor,” ujar Jamiluddin saat dihubungi, Kamis (23/10/2025).
Menurut Jamiluddin, dugaan manipulasi informasi terkait sumber air dapat dikategorikan sebagai pembohongan publik dan berpotensi melanggar ketentuan pidana perlindungan konsumen. Ia menegaskan, aparat penegak hukum perlu menindaklanjuti temuan ini secara serius.
“Perbuatan Aqua itu sudah masuk ranah pidana karena menipu konsumen melalui citra yang tidak sesuai fakta. Aparat hukum harus memproses kasus ini,” tegasnya.
Selain proses hukum, Jamiluddin juga mendesak agar pihak perusahaan bertanggung jawab secara moral dan sosial atas kebohongan publik yang terjadi. Menurutnya, langkah transparansi dan permintaan maaf terbuka harus segera dilakukan oleh manajemen Aqua.
“Kompensasi bisa diberikan dalam bentuk bantuan sosial dan kesehatan bagi masyarakat, termasuk beasiswa untuk anak-anak kurang mampu,” ujarnya menambahkan.
Temuan ini sekaligus memantik desakan dari berbagai kalangan, termasuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), agar pemerintah meninjau ulang izin usaha Aqua dan melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh sumber air yang digunakan.
Baca Juga: Saat Narasi Iman dan Krisis Iklim Bertemu di Ruang Media, Suara Agama Jadi Energi Perubahan
Sejauh ini, pihak Aqua belum memberikan keterangan resmi terkait hasil sidak maupun tudingan penggunaan air sumur bor. Namun, tekanan publik terus meningkat, terutama di media sosial, yang mempertanyakan transparansi proses produksi salah satu merek air minum dalam kemasan tertua di Indonesia tersebut.
Kasus ini menambah daftar panjang persoalan etika bisnis di industri air minum kemasan, yang selama ini kerap dikaitkan dengan isu eksploitasi sumber daya alam dan kejujuran informasi produk. Publik kini menanti langkah tegas pemerintah dan klarifikasi terbuka dari perusahaan yang selama puluhan tahun menjadi simbol air bersih itu.***