Tak berhenti di situ, korban juga menerima telepon pribadi dari pelaku yang mengarah pada bentuk pelecehan verbal dan pelanggaran kebebasan beragama.
“Dia bilang, ‘Senin gak usah pakai kerudung dong’. Saya langsung matiin teleponnya,” ungkap RD.
Ungkapan ini memicu kemarahan publik di media sosial. Banyak netizen menilai tindakan tersebut tidak hanya melanggar norma kerja, tapi juga bentuk diskriminasi terhadap identitas perempuan berhijab.
Polisi Bergerak, Publik Desak Transparansi
Kasat Reskrim Polres Metro Bekasi Kota, AKBP Braiel Arnold Rondonuwu, memastikan kasus ini sedang dalam tahap penyelidikan mendalam.
“Laporan sudah kita terima. Korban mengaku dianiaya. Kita akan segera panggil para pihak untuk dimintai keterangan,” ujarnya.
Publik mendesak agar proses hukum dilakukan secara transparan tanpa intervensi. Sebab, isu pelecehan di tempat kerja instansi pemerintahan sering kali tenggelam sebelum tuntas karena faktor relasi kuasa dan tekanan internal.
Sejumlah aktivis perempuan, termasuk jaringan Komnas Perempuan dan LBH APIK, menyoroti pentingnya audit lingkungan kerja di lembaga pelayanan publik agar kasus serupa tidak berulang.
Harapan Korban: “Saya Gak Mau Ada Korban Lain”
Dalam pernyataannya, RD berharap kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak. Ia menegaskan, pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum.
“Saya dan keluarga tidak terima. Semoga gak ada lagi korban kayak saya di kantor pemerintahan,” tuturnya.
Kasus SPPG Bekasi menjadi refleksi bahwa isu pelecehan bukan hanya masalah individu, melainkan persoalan sistemik di tempat kerja publik yang butuh pembenahan menyeluruh.
Fenomena pelecehan di tempat kerja masih marak di Indonesia, meski Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah disahkan pada 2022.