Generasi muda di berbagai negara kini menolak tradisi tersebut.
Di Korea Selatan, misalnya, pemerintah sedang mempertimbangkan larangan penuh setelah konsumsi daging anjing menurun drastis.
Fenomena serupa juga mulai terlihat di Indonesia.
Jika dulu sebagian masyarakat masih menganggap daging anjing atau kucing sebagai alternatif protein murah, kini semakin banyak yang sadar akan risiko dan nilai kemanusiaan di baliknya.
Risiko Kesehatan Tak Bisa Diabaikan
Ahli kesehatan menegaskan, perdagangan dan konsumsi daging anjing serta kucing membawa risiko besar terhadap penyebaran penyakit zoonosis.
Rabies adalah ancaman paling nyata.
Virus ini dapat menular melalui gigitan atau kontak dengan hewan terinfeksi, dan hingga kini masih menelan korban jiwa di Indonesia setiap tahunnya.
Selain rabies, penanganan daging yang tidak higienis juga berisiko memicu infeksi bakteri seperti Salmonella dan E. coli.
Pasar hewan informal yang sering kali luput dari pengawasan veteriner, menjadi titik rawan penyebaran penyakit baru, bahkan berpotensi serupa dengan kasus pandemi COVID-19 yang diduga bermula dari pasar hewan hidup.
Bahkan secara ekonomi, wabah akibat zoonosis dapat merugikan masyarakat.
Jika rabies mewabah, biaya penanganan medis dan dampak sosialnya jauh lebih besar daripada keuntungan ekonomi dari perdagangan daging hewan tersebut.
Data dan Tren Global: Dunia Bergerak Menuju Larangan Total