Pertama, Danantara akan menambah penyertaan modal (equity) agar proyek bisa lebih mandiri secara keuangan.
Kedua, mereka mempertimbangkan untuk menyerahkan infrastruktur Whoosh menjadi aset pemerintah, seperti skema umum pada industri perkeretaapian nasional.
“Kita ingin proyek ini self sustain karena operasionalnya sudah cukup baik. Tapi kalau nanti diserahkan ke pemerintah seperti kereta lain, itu juga salah satu opsi,” jelas Dony.
Sebagai informasi, proyek Whoosh senilai 7,3 miliar dolar AS (sekitar Rp116 triliun) ini telah mempercepat mobilitas antara Jakarta dan Bandung, memangkas waktu tempuh hanya menjadi 36 menit.
Peningkatan konektivitas ini berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi kawasan Bandung Raya dan sekitarnya, terutama di sektor pariwisata, transportasi, dan properti.
Meski diselimuti polemik, proyek Whoosh tetap menjadi simbol ambisi Indonesia menuju modernisasi transportasi publik. Tantangannya kini adalah memastikan transparansi, efisiensi, dan keberlanjutan finansial tanpa membebani negara.
Langkah restrukturisasi yang diusulkan Luhut dan skema tanggung jawab Danantara bisa menjadi jalan tengah yang realistis, asalkan disertai pengawasan ketat dan komunikasi publik yang terbuka.
Pada akhirnya, keberhasilan restrukturisasi Whoosh bukan hanya soal angka utang, melainkan ujian kredibilitas tata kelola proyek nasional di era pemerintahan baru.***