Bila Kejagung bersikap tegas, hal itu dapat menjadi momentum untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Sebaliknya, bila dibiarkan berlarut-larut, kasus ini bisa menjadi preseden buruk bahwa vonis pengadilan bisa dinegosiasikan. Dalam negara hukum, hal semacam itu seharusnya tidak boleh terjadi.
Publik kini menunggu bukti nyata, bukan janji. Apakah Kejagung berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu, atau kembali membiarkan kasus ini menguap di tengah isu “backup” kekuasaan.***