Purbaya juga menyinggung pola serupa pada subsidi solar, listrik, dan minyak tanah. Menurutnya, pemerintah terus mengevaluasi agar subsidi tepat sasaran kepada kelompok masyarakat miskin dan rentan.
Namun, pernyataan inilah yang kemudian menuai koreksi dari Menteri ESDM.
Wacana Penetapan Harga LPG 3 Kg dengan NIK Mulai 2026
Polemik soal harga LPG 3 kg memang tidak lepas dari rencana pemerintah untuk memperketat distribusi. Bahlil sebelumnya sudah mengumumkan bahwa mulai 2026, pembelian LPG 3 kg akan diwajibkan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Kebijakan ini dirancang agar subsidi benar-benar dinikmati masyarakat miskin, bukan kelas menengah ke atas.
Baca Juga: Nadya Almira Buka Suara Soal Tudingan Tabrak Lari, Ungkap Kronologi Kecelakaan 12 Tahun Lalu
“Tahun depan iya (pakai NIK). Jadi yang kaya nggak usah pakai LPG 3 kg lah. Desil 8,9,10 saya pikir mereka dengan kesadaran lah,” kata Bahlil pada Agustus 2025 lalu.
Dengan basis data tunggal dari BPS, pemerintah berharap distribusi energi bersubsidi lebih transparan dan adil.
Pernyataan saling silang antara Menkeu dan Menteri ESDM ini memunculkan pertanyaan publik terkait akurasi data subsidi energi.
Banyak warganet di media sosial menyoroti pentingnya transparansi data agar tidak membingungkan masyarakat.
Di tingkat lokal, termasuk di Bandung dan kota besar lainnya, warga mengaku khawatir jika kebijakan berbasis NIK nantinya akan menambah kerumitan pembelian LPG 3 kg.
Namun sebagian lain menilai aturan tersebut penting agar subsidi tidak bocor ke orang kaya.
Ekonom menilai bahwa polemik ini mencerminkan tantangan koordinasi antar kementerian. Sebab, data energi dan keuangan memang harus sinkron agar kebijakan berjalan efektif.
Pernyataan Bahlil Lahadalia terhadap Menkeu Purbaya soal harga LPG 3 kg memperlihatkan adanya perbedaan sudut pandang dalam membaca data subsidi energi.