Usai sidang, terdakwa sempat menemui wartawan dan menyerahkan secarik kertas berisi permintaan maaf kepada keluarga serta pihak-pihak yang terdampak.
Dalam surat itu, ia menuliskan harapan untuk bisa kembali ke keluarga setelah menjalani hukuman dan berjanji memperbaiki diri.
Namun, respons publik di Garut cukup keras. Di media sosial, banyak warganet menilai hukuman lima tahun terlalu ringan dibandingkan dampak psikologis yang dialami korban.
Beberapa bahkan mendesak agar profesi terdakwa dicabut permanen sebagai bentuk sanksi sosial dan perlindungan terhadap calon pasien di masa depan.
Konteks Lebih Luas: Kepercayaan Publik Terhadap Tenaga Medis
Kasus ini menambah daftar panjang pelanggaran etik yang melibatkan tenaga kesehatan di Indonesia.
Di Garut sendiri, peristiwa ini menjadi perhatian karena daerah tersebut dikenal sebagai salah satu rujukan layanan kesehatan ibu dan anak di Jawa Barat.
Lembaga perlindungan perempuan dan anak menekankan bahwa vonis ini seharusnya menjadi momentum memperkuat regulasi pengawasan praktik medis, termasuk peningkatan literasi hukum bagi pasien agar lebih berani melapor jika mengalami dugaan pelecehan.
Di sisi lain, kasus ini juga memperlihatkan pentingnya Undang-Undang TPKS sebagai instrumen hukum baru.
Dengan UU tersebut, korban memiliki perlindungan lebih jelas, termasuk hak atas restitusi yang dalam kasus ini mencapai Rp106 juta.
Peristiwa ini bukan sekadar perkara hukum seorang dokter dan pasien. Lebih jauh, ada pesan moral bahwa siapa pun bisa menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan, bahkan dalam profesi mulia sekalipun.
Bagi masyarakat, penting untuk selalu waspada, memahami hak-hak pasien, dan berani bersuara bila menghadapi tindakan mencurigakan saat menerima layanan kesehatan.
Bagi pemerintah dan lembaga profesi medis, ini menjadi alarm untuk memperketat pengawasan dan memberikan sanksi tegas agar kasus serupa tidak terulang.