Publik bertanya-tanya, mengapa vonis yang jelas-jelas inkrah bisa mandek hingga enam tahun? Beberapa analis menilai ada indikasi “tebang pilih” dalam penegakan hukum.
Di media sosial, sebagian netizen menyindir bahwa jika kasusnya menimpa masyarakat biasa, eksekusi sudah sejak lama dijalankan.
Ada pula yang menilai lambannya eksekusi ini menambah daftar panjang kasus hukum di Indonesia yang mandek karena faktor politik.
“Kalau rakyat jelata, sehari juga langsung ditangkap. Kalau tokoh politik, bisa bertahun-tahun nggak jelas,” tulis seorang pengguna X (Twitter) yang komentarnya ramai di-retweet.
Di sisi lain, pihak Kejari Jaksel belum memberi penjelasan detail mengapa eksekusi tertunda.
Hanya disebutkan bahwa proses hukum masih berjalan sesuai mekanisme.
Kasus Silfester bukan yang pertama menunjukkan lemahnya eksekusi hukum di Indonesia.
Laporan Komisi Yudisial dan ICW kerap menyoroti persoalan serupa: vonis inkrah tidak otomatis membuat pelaku masuk bui.
Di Bandung misalnya, kasus korupsi dana bansos pada 2023 juga sempat tertunda eksekusinya meski putusan sudah final.
Kondisi ini menimbulkan persepsi publik bahwa penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari rasa keadilan.
Baca Juga: Rp100 Ribu Sehari untuk Guru, Tambal Sulam Distribusi MBG atau Titip-titip Honor Baru?
Menurut pakar hukum pidana Universitas Indonesia, keterlambatan eksekusi bisa mengikis kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
“Jika putusan pengadilan tidak dilaksanakan, bagaimana masyarakat bisa percaya hukum berlaku sama untuk semua orang?” katanya dalam sebuah diskusi hukum.
Kasus Silfester Matutina bukan hanya soal satu orang, tetapi juga tentang kredibilitas hukum di Indonesia.