Lembaga pengawasan internal seperti Propam dinilai belum bekerja optimal. Alih-alih melindungi masyarakat, pengawasan sering dipersepsikan sekadar memperumit prosedur hukum.
Padahal, Propam seharusnya menjadi simbol keberanian Polri dalam melawan mafia hukum dan melindungi pencari keadilan.
Isu lain yang mengemuka adalah mekanisme pengangkatan Kapolri. Uji kelayakan di DPR selama ini dianggap sarat kepentingan politik, sehingga berpotensi melemahkan independensi pimpinan Polri.
Usulan muncul agar pengangkatan Kapolri dikembalikan ke hak prerogatif Presiden, sama seperti Jaksa Agung.
Dengan mekanisme itu, Kapolri diharapkan bisa bekerja tanpa beban politik serta berani mengambil keputusan tegas tanpa harus membayar “utang politik”.
Figur Baru dan Harapan Publik
Nama Komjen Suyudi Ario Seto disebut-sebut sebagai salah satu kandidat kuat Kapolri ke depan. Meski baru sebulan menjabat Kepala BNN, ia sudah menginisiasi pelumpuhan 11 jaringan narkoba internasional.
Ketegasan dan rekam jejak di bidang reserse membuatnya dinilai mampu menjadi simbol keberanian dalam perang melawan mafia hukum.
Namun, publik mengingatkan bahwa reformasi Polri bukan sekadar pergantian figur. Lebih penting adalah transformasi budaya, sistem, dan keberanian untuk membersihkan praktik lama yang merusak citra kepolisian.
Masyarakat berharap, kasus kecil seperti kehilangan motor tak lagi membutuhkan sorotan media untuk mendapat perhatian aparat.
Baca Juga: Raffi Ahmad Tolak Jadi Menpora, Lebih Pilih Fokus Sebagai Utusan Khusus Presiden
Mereka menuntut layanan cepat, adil, dan bebas pungutan. Kepolisian reformis harus menolak setoran, berani melawan mafia, dan menjadikan rakyat sebagai pusat pengabdian.
Akhir dari “No Viral No Justice”?
Langkah Presiden Prabowo dianggap sebagai momentum penting. Jika reformasi benar-benar dijalankan, Polri bukan hanya ditakuti karena seragam cokelatnya, melainkan dihormati karena integritasnya.