Momentum paling kentara terjadi saat rapat kerja perdana dengan Komisi XI DPR RI pada 10 September 2025.
Di forum itu, Purbaya mengaku mencoba mengendalikan gaya bicara spontannya setelah menuai kritik atas komentar sebelumnya soal tuntutan rakyat “17 plus 8”.
“Saya baru merasakan dampaknya. Jadi sekarang saya akan mengacu ke pidato yang sudah disiapkan staf. Jadi nggak ada sesi bebas lagi,” ujarnya sambil menahan diri.
Pernyataan ini menandai pergeseran: dari gaya bicara koboi yang tanpa filter menjadi pendekatan lebih terukur, meski ia mengaku spontanitas adalah bagian dari dirinya.
Baca Juga: Rp8,7 Miliar Balik ke KPK! Ustaz Khalid Basalamah Buka Suara Soal Skandal Kuota Haji Bermasalah
Siap Dikritik, Siap Bertaruh
Menariknya, Purbaya tak menolak kritik. Ia menyebut siap “dihajar” habis-habisan di awal masa jabatannya.
Sebuah pernyataan yang bisa dibaca sebagai sikap rendah hati, sekaligus taruhan besar atas gaya kepemimpinannya.
Optimisme tinggi dengan target pertumbuhan ambisius memang bisa menjadi modal politik dan psikologis bagi pasar.
Namun, risiko dari komunikasi yang terlalu terbuka dapat menggerus kepercayaan jika tidak diiringi realisasi kebijakan yang konsisten.
Dalam politik ekonomi, kredibilitas sering kali sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri.
Baca Juga: KPK Bongkar Jual Beli Kuota Haji Khusus Antar Biro, Kerugian Negara Ditaksir Capai Rp1 Triliun
Di titik inilah gaya koboi Purbaya diuji: apakah publik melihatnya sebagai ketegasan visioner, atau sekadar sikap sembrono yang menambah ketidakpastian.
Di media sosial, respons publik pun beragam. Sebagian memuji gaya lugas Purbaya sebagai penyegar, setelah bertahun-tahun publik terbiasa dengan gaya formal Sri Mulyani.
“Setidaknya dia jujur dan apa adanya,” tulis salah satu warganet.