Pembagian tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
UU mengatur bahwa kuota haji khusus hanya sebesar 8 persen, sedangkan 92 persen sisanya wajib dialokasikan untuk jemaah reguler.
Langkah Kementerian Agama yang mengubah komposisi ini dianggap merugikan calon jemaah reguler yang jumlahnya jauh lebih banyak dan menunggu bertahun-tahun untuk berangkat.
Kritik keras pun bermunculan, terutama dari keluarga calon jemaah haji di berbagai daerah yang merasa haknya terpangkas.
Publik menilai kasus ini sebagai bentuk nyata ketidakadilan dalam pengelolaan ibadah haji.
Baca Juga: Kasus Kuota Haji Makin Panas, Uang Khalid Basalamah Disita KPK, 8.400 Jamaah Gagal Berangkat
Beberapa netizen menyebut praktik jual beli kuota membuat ibadah yang seharusnya sakral justru bernuansa komersial.
“Kalau haji saja bisa diperjualbelikan, bagaimana masyarakat bisa percaya lagi dengan sistemnya? Ini soal amanah,” tulis seorang pengguna media sosial X.
Kritik juga datang dari sejumlah tokoh agama yang menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana dan kuota haji.
Mereka menilai kasus ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga mencoreng nilai spiritual ibadah haji yang semestinya bersih dari praktik bisnis kotor.
Kasus dugaan korupsi kuota haji ini menjadi ujian besar bagi Kementerian Agama dan pemerintah.
Selain kerugian negara yang fantastis, praktik jual beli kuota berpotensi menggerus kepercayaan umat terhadap penyelenggaraan ibadah haji.
Ke depan, transparansi, sistem distribusi digital yang akuntabel, serta pengawasan lintas lembaga menjadi kunci agar kasus serupa tidak berulang.
Bagi jutaan calon jemaah haji yang menunggu giliran bertahun-tahun, keadilan dalam pembagian kuota adalah harga mati.