Hardjuno memperingatkan, ketidakseriusan pemerintah dan DPR dalam mengesahkan RUU Perampasan Aset bisa berujung pada krisis sosial.
Ia menyinggung pengalaman beberapa negara, seperti Nepal, Sri Lanka, hingga Chile, yang sempat diguncang gelombang protes rakyat akibat maraknya korupsi dan lemahnya reformasi hukum.
Di Indonesia, korupsi disebut sebagai biang kerok stagnasi pembangunan.
Efek dominonya begitu luas: pertumbuhan ekonomi tersendat, investasi enggan masuk, angka kemiskinan naik, hingga kepercayaan publik terhadap negara semakin rapuh.
Baca Juga: Tunjangan Rumah Rp 70 Juta, Potret Ironi DPRD DKI di Tengah Kesulitan Warga
“RUU ini harus segera dibahas secara konkret, pasal demi pasal. Publik tidak menunggu wacana, tapi tindakan nyata,” tegas Hardjuno.
Posisi DPR: Masih Tahap Usulan
Di sisi lain, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Bob Hasan, menuturkan bahwa RUU Perampasan Aset saat ini masih bersifat usulan.
Rencananya, draf awal akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR pada Rabu (17/9) mendatang.
Namun Bob menegaskan, pengajuan ini baru sebatas tahap prioritas untuk masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2026. Artinya, masih ada perjalanan panjang sebelum RUU ini benar-benar disahkan.
Baca Juga: Jokowi Pilih Irit Bicara soal Reshuffle, Janji Segera Temui Budi Arie
Situasi ini menimbulkan pertanyaan publik: apakah DPR serius mendorong pemiskinan koruptor, atau sekadar menggulirkan wacana politik untuk meredam amarah rakyat?
Analisis: Momentum Reformasi atau Sekadar Janji?
RUU Perampasan Aset sesungguhnya telah lama diperjuangkan, bahkan masuk pembahasan sejak era pemerintahan sebelumnya.
Namun tarik-menarik kepentingan membuatnya tak kunjung rampung.