HUKAMANEWS – Dari hal yang sepertinya sepele, justru menjadi potensi bahaya bagi orangtua dan anak. Apakah itu, yaitu praktik sharenting atau sebuah kebiasaan dari para orang tua membagikan foto dan video anak di berbagai media sosial. Kebiasaan ini perlahan menjadi kian marak dan dianggap hal biasa.
"Padahal fenomena yang dianggap tren ini, justru ternyata menyimpan bahaya serius bagi privasi dan keamanan anak," sebut Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Drs. Kawiyan, M.I.Kom.
Fenomena ini menjadi perbincangan hangat dalam Focus Group Discussion (FGD) DRTPM DIKTI yang diselenggarakan Telkom University bertemakan “Sharenting di Era Digital: Analisis Netnografi Terhadap Respon Netizen pada Konten Anak Viral di Instagram” yang dipimpin oleh Dr. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi, M.Ikom.
Menurut Kawiyan, orang tua sering kali tidak menyadari bahwa aktivitas sederhana seperti mengunggah foto atau bahkan membuat akun khusus untuk anak justru bisa membuka risiko besar. Tak disadari identitas orang tua yang sudah jelas di media sosial—mulai dari pekerjaan, alamat, hingga aktivitas sehari-hari—akan semakin berbahaya ketika ditautkan dengan informasi tentang anak.
“Ini bisa membuka celah bagi orang asing untuk langsung berinteraksi dengan anak melalui platform digital,” tegasnya.
Lebih jauh, Kawiyan menambahkan bahwa sebenarnya Indonesia sudah memiliki banyak regulasi terkait perlindungan anak, termasuk UUD 1945 Pasal 28B ayat 2, UU Perlindungan Anak, hingga UU ITE yang baru direvisi pada tahun 2024. Namun, implementasi aturan ini dinilai belum maksimal.
Baca Juga: Bukan Influencer! Analis Sarankan Presiden Prabowo Lebih Sering Bicara Lewat Media, Ini Alasannya
Perlindungan anak belum dapat maksimal berjalan, salah satunya karena keterbatasan pemerintah dalam menindak langsung konten negatif.
“Kominfo tidak bisa serta-merta memblokir atau menghapus konten di media sosial. Semua kembali pada kebijakan platform seperti YouTube, Facebook, dan Instagram,” jelasnya.
Kondisi ini diperparah dengan tingginya angka kekerasan terhadap anak. Berdasarkan data laporan di KPAI, kasus terbanyak adalah kekerasan seksual, disusul kekerasan fisik, pornografi, kejahatan siber, dan perundungan online. Fakta ini menunjukkan bahwa anak masih sangat rentan menjadi korban di era digital.
Dengan fakta tersebut, Kawiyan menegaskan KPAI terus mendorong agar Peraturan Pemerintah (PP) TUNAS segera diimplementasikan. Aturan ini memberi mandat bagi platform digital untuk turut mengedukasi masyarakat tentang manfaat sekaligus risiko media sosial. Edukasi tersebut bisa berupa kelas, sosialisasi, hingga tutorial online yang ditujukan bagi orang tua dan anak.