Sejumlah aktivis hak asasi manusia menyebut, kematian Affan adalah bukti masih lemahnya pengendalian aparat di lapangan.
"Jangan sampai ada lagi warga yang menjadi korban karena tindakan aparat yang berlebihan," ujar seorang pegiat HAM dalam pernyataannya.
Di sisi lain, komunitas ojek online juga bereaksi keras. Mereka menggelar doa bersama dan aksi solidaritas di beberapa titik di Jakarta.
"Kami kehilangan salah satu saudara di jalan. Kami menuntut keadilan," kata salah satu pengemudi ojol yang hadir.
Kasus ini memunculkan diskusi lebih luas mengenai tata kelola pengamanan aksi massa.
Pakar kepolisian menilai, penggunaan kendaraan taktis semestinya memiliki protokol ketat untuk menghindari korban sipil.
Baca Juga: Merawat Bumi, Merajut Perdamaian dari Ternate
"Prosedur pengendalian massa harus dipatuhi tanpa kompromi. Jika ada pelanggaran, maka harus ada pertanggungjawaban hukum, bukan sekadar etik," kata seorang akademisi hukum pidana dari Universitas Indonesia.
Polri menegaskan komitmennya untuk menindak tegas setiap pelanggaran etik maupun pidana yang dilakukan anggotanya.
Proses persidangan etik terhadap tujuh anggota Brimob ini diharapkan menjadi pintu masuk untuk mengungkap seluruh tanggung jawab dalam kasus tersebut.
Bagi keluarga korban, keadilan bukan hanya tentang sanksi etik, tetapi juga kepastian hukum yang bisa memberikan rasa tenang.
Publik menunggu apakah kasus ini akan benar-benar dibawa ke pengadilan umum.
Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan kini menjadi pengingat bahwa keamanan dan keselamatan warga harus menjadi prioritas dalam setiap aksi pengamanan demonstrasi di ibu kota.***