Putusan MA yang Kontroversial
Sebelumnya, pada Juni 2025, MA mengabulkan permohonan PK Setnov. Vonis yang semula 15 tahun penjara dipotong menjadi 12 tahun 6 bulan.
MA juga menetapkan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.
Tak hanya itu, Setnov diwajibkan membayar uang pengganti 7,3 juta dolar AS. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp5 miliar sudah disetorkan ke penyidik KPK, sementara sisanya Rp49 miliar masih dibebankan kepadanya.
Jika tidak dilunasi, Setnov harus menjalani tambahan hukuman dua tahun penjara.
Baca Juga: Kasus Kuota Haji Rp1 Triliun, Nama Yaqut Cholil di Ujung Tanduk, Kapan KPK Resmi Periksa?
Meski begitu, sorotan publik justru mengarah pada sanksi tambahan pencabutan hak politik. Pasalnya, hukuman ini baru efektif setelah ia bebas murni.
Dengan demikian, Setnov masih memiliki waktu hingga 2029 untuk menyelesaikan bimbingan kemasyarakatan sebelum benar-benar kehilangan hak politiknya.
Kabar bebas bersyaratnya Setnov langsung memicu reaksi masyarakat. Banyak yang menilai keputusan MA dan pelaksanaan hukuman tambahan ini bisa membuka celah politik.
“Kalau baru berlaku 2029, artinya ada ruang bagi Setnov untuk tetap beraktivitas di luar penjara meski hak politiknya belum dicabut,” ujar salah satu pengamat hukum tata negara.
Di media sosial, sejumlah warganet juga mempertanyakan efektivitas sanksi tersebut.
“Kalau pencabutan hak politik ditunda, apa gunanya vonis tambahan?” tulis seorang pengguna X.
Meski begitu, Ditjenpas menegaskan pihaknya hanya menjalankan putusan pengadilan.
“Kami bukan pembuat aturan, kami hanya melaksanakan,” tegas Rika.