“Selama masa pidana belum habis, hak politik belum bisa dipulihkan. Baru bisa dipertimbangkan lima tahun setelah menjalani pidana pokok,” katanya.
Dengan demikian, peluang Setnov untuk kembali tampil di panggung politik nasional, setidaknya secara formal, masih jauh dari jangkauan.
Vonis Kasus e-KTP yang Menghebohkan
Kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik yang menyeret nama Setnov menjadi salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia.
Mahkamah Agung tidak hanya memangkas vonisnya, tetapi juga mengubah pidana denda dari Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan menjadi Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.
Selain pidana penjara dan denda, Setnov juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar AS.
Jumlah yang fantastis ini mencerminkan besarnya kerugian negara akibat praktik korupsi dalam proyek bernilai triliunan rupiah tersebut.
Kabar bebas bersyaratnya Setnov langsung menjadi perbincangan publik. Di media sosial, sebagian warganet melontarkan kritik keras, menganggap hukum di Indonesia terlalu “lunak” terhadap koruptor kelas kakap.
Namun ada pula yang menilai, apa yang didapat Setnov merupakan konsekuensi dari mekanisme hukum yang berlaku.
“Kalau aturan memungkinkan bebas bersyarat, ya itu haknya. Tinggal bagaimana negara mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan lagi,” ujar seorang pengamat hukum dari Bandung, menekankan pentingnya pengawasan ketat.
Meski sudah bisa kembali ke rumah dan berkumpul bersama keluarga, perjalanan hukum Setya Novanto masih panjang.
Selama empat tahun ke depan, ia diwajibkan melapor setiap bulan sebagai bagian dari pengawasan pembebasan bersyarat.
Bagi publik, kasus ini menjadi pengingat bahwa skandal besar seperti e-KTP tidak berhenti pada vonis di pengadilan, tetapi juga bagaimana sistem hukum memastikan keadilan tetap berjalan hingga akhir masa pidana.