Selain Yaqut, KPK juga mencegah bepergian ke luar negeri mantan staf khususnya, Ishfah Abidal Aziz, dan pemilik Maktour, Fuad Hasan Masyhur.
Pencegahan berlaku selama enam bulan untuk mendukung kelancaran penyidikan.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah dilibatkan untuk menghitung potensi kerugian negara. Perhitungan awal menyebut angka kerugian lebih dari Rp1 triliun.
Kasus ini memicu reaksi publik. Beberapa pengamat menilai, jika benar ada kesepakatan tertutup sebelum kebijakan resmi keluar, hal itu bisa menjadi pintu masuk praktik lobi yang merugikan jamaah.
“Kuota haji adalah hak publik, bukan komoditas yang bisa diatur di ruang rapat tertutup,” ujar seorang pemerhati kebijakan haji.
Dengan penyidikan yang masih berjalan, publik kini menanti langkah tegas KPK untuk memastikan setiap keputusan terkait haji berlangsung transparan dan bersih dari kepentingan sempit.
Kasus pembagian kuota haji ini menjadi ujian besar bagi KPK dan Kemenag. Selain soal hukum, ini juga menyangkut kepercayaan jutaan calon jamaah haji yang menunggu bertahun-tahun untuk berangkat ke Tanah Suci.
Hasil penyelidikan akan menentukan apakah ke depan pengelolaan haji bisa lebih terbuka, atau kembali terjebak dalam praktik lama yang sarat kepentingan.***