HUKAMANEWS - Presiden Prabowo Subianto secara resmi memberikan amnesti kepada 1.178 orang, termasuk Yulianus Paonganan, dalam keputusan yang menuai perhatian publik.
Langkah ini disambut oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, yang menegaskan bahwa kasus Yulianus memiliki muatan politik yang kuat.
Menurut Yusril, pemberian amnesti kepada terpidana kasus yang bersentuhan dengan politik bukanlah hal baru dalam sejarah hukum Indonesia.
Yulianus sebelumnya divonis atas kasus penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo melalui unggahan berisi konten pornografi di media sosial.
Namun eksekusi terhadap putusan pengadilan tersebut tidak pernah dilakukan hingga akhirnya amnesti diberikan.
Dengan amnesti ini, status hukum Yulianus secara otomatis dihapuskan tanpa perlu proses hukum lebih lanjut.
Yusril menyatakan bahwa tindakan Presiden merupakan bentuk pemutusan rantai polemik yang berkepanjangan terhadap kasus-kasus yang dinilai sensitif secara politik.
Ia menekankan bahwa dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, amnesti memang diperuntukkan bagi kasus-kasus politik tertentu, termasuk yang melibatkan kritik atau perbedaan pandangan terhadap pemerintah.
“Pak Ongen itu sudah divonis, tapi sejak lama belum dieksekusi,” ujar Yusril saat ditemui di Jakarta, Senin (4/8/2025).
Baca Juga: Trend di Jepang! Moflin, Robot AI Berbulu yang Punya Kepribadian Unik dan Bisa Dipeluk
Menurut dia, amnesti yang diberikan menjadi solusi hukum yang menyeluruh, tanpa harus ada eksekusi maupun tuntutan hukum baru.
Langkah ini pun dinilai sejalan dengan pendekatan restoratif dalam penegakan hukum, khususnya bagi pelanggaran yang tidak menimbulkan kerugian fisik maupun materiil secara langsung kepada masyarakat luas.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas sebelumnya mengonfirmasi bahwa Yulianus merupakan satu dari 1.178 nama yang masuk dalam daftar penerima amnesti yang telah disetujui Presiden.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Supratman menyebut bahwa kasus yang menjerat Yulianus termasuk dalam kategori pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengandung unsur penghinaan terhadap kepala negara.