Saifullah Yusuf menegaskan bahwa bansos tersebut akan dialihkan kepada masyarakat lain yang dinilai lebih berhak berdasarkan pembaruan data sosial ekonomi.
“Kalau nanti terbukti ada kejanggalan dan tidak layak menerima, maka kuotanya akan langsung kita alihkan ke penerima yang benar-benar membutuhkan,” katanya.
Perubahan kebijakan ini juga didukung oleh hasil pemutakhiran 'Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional' (DTSEN) yang dikelola Badan Pusat Statistik (BPS).
Melalui DTSEN dan peninjauan lapangan, Kemensos menemukan hampir dua juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tidak lagi layak menerima bantuan.
Sebagai gantinya, bansos tersebut kini diberikan kepada warga dari desil 1 hingga 4—yakni kelompok masyarakat yang tergolong paling miskin berdasarkan klasifikasi sosial ekonomi nasional.
Mensos juga memastikan bahwa jumlah bansos secara keseluruhan tidak mengalami pengurangan.
Bahkan, Presiden Joko Widodo disebut telah menambah nilai bantuan untuk lebih dari 18 juta KPM sebagai bentuk respons terhadap kondisi ekonomi yang masih menantang.
“Bansosnya tidak dikurangi, justru ada penebalan dari Presiden,” ujar Saifullah.
Langkah ini merupakan bentuk komitmen Kemensos dalam memastikan bantuan pemerintah benar-benar menyentuh mereka yang berada di garis kemiskinan dan membutuhkan dukungan.
Pengawasan terhadap penyaluran dana bansos menjadi penting di tengah maraknya temuan keterlibatan warga dalam aktivitas ilegal seperti judi online.
Dengan menggandeng BI dan terus memanfaatkan data analisis dari PPATK, pemerintah berharap tidak ada lagi penerima bantuan yang menyalahgunakan atau tidak membutuhkan dana tersebut.
Langkah Kemensos ini dinilai strategis karena menekankan pada prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam distribusi bantuan negara.
Dengan memantau langsung pola aktivitas rekening penerima, pemerintah dapat memutus potensi kebocoran dana, sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem bansos nasional.