Jika dirinci, Sritex mendapatkan kredit dari Bank Jateng sebesar Rp395,6 miliar.
Lalu, dari Bank BJB mencapai Rp543,9 miliar, dan dari Bank DKI Jakarta sekitar Rp149 miliar.
Ketiga angka tersebut jika dijumlahkan pas mengarah ke total kerugian negara yang kini tengah disorot: Rp1,088 triliun.
Besarnya kredit macet ini menjadi indikasi kuat adanya dugaan penyimpangan dalam proses pemberian dan penggunaan dana pinjaman tersebut.
Baca Juga: Kejagung Dinilai Tak Punya Alasan Tunda Tetapkan Nadiem Makarim sebagai Tersangka Kasus Chromebook
Kejagung sebelumnya juga menyebut bahwa dana pinjaman yang dikucurkan tidak sepenuhnya digunakan untuk keperluan produktif seperti modal kerja.
Sebaliknya, dana kredit justru dialihkan untuk kepentingan lain di luar perjanjian, yang menjadi salah satu dasar pengusutan kasus ini.
Tak berhenti sampai di situ, Kejagung juga telah menetapkan 11 orang sebagai tersangka dalam kasus ini.
Mereka bukan orang sembarangan.
Nama-nama tersebut mencakup pimpinan puncak bank daerah dan petinggi manajemen Sritex.
Di antaranya adalah Dicky Syahbandinata, mantan Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial Bank BJB tahun 2020, serta Zainuddin Mappa, mantan Direktur Utama Bank DKI tahun 2020.
Dari internal Sritex, muncul nama Iwan Setiawan Lukminto, yang menjabat sebagai Direktur Utama perusahaan dari 2005 hingga 2022.
Ada juga Allan Moran Severino, Direktur Keuangan Sritex selama periode 2006–2023, yang perannya disebut cukup sentral dalam pengelolaan dana pinjaman tersebut.
Sementara itu, dari pihak Bank DKI, Kejagung menetapkan Babay Farid Wazadi, mantan Direktur Kredit UMKM merangkap Direktur Keuangan, serta Pramono Sigit, Direktur Teknologi Operasional periode 2015–2021.