Daftar nama yang disebut jaksa antara lain Tony Wijaya Ng, Then Surianto Eka Prasetyo, hingga Hans Falita Hutama.
Mereka disebut menerima keuntungan fantastis dari kerja sama tersebut, dengan nilai masing-masing mencapai puluhan miliar rupiah.
Skema ini bermula dari penerbitan izin impor yang dikeluarkan Tom Lembong kepada sembilan perusahaan swasta.
Proses tersebut tidak melalui koordinasi antarkementerian maupun rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, sehingga menyalahi prosedur dan berdampak pada kerugian negara.
Berdasarkan audit BPKP tertanggal 20 Januari 2025, total kerugian akibat praktik ini mencapai Rp578,1 miliar.
Vonis terhadap Charles identik dengan tuntutan yang diajukan jaksa, yang sejak awal meminta hukuman empat tahun penjara dan denda Rp750 juta.
Sementara itu, Tom Lembong sendiri sebelumnya telah lebih dulu divonis bersalah dengan hukuman penjara selama 4 tahun 6 bulan.
Ia tidak dikenakan kewajiban membayar uang pengganti karena dinilai tidak menerima keuntungan langsung dari skema korupsi tersebut.
Namun, jaksa menyatakan bahwa tindakan Tom telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp515,4 miliar, dari total kerugian yang tercatat.
Kasus ini menjadi pelajaran penting terkait tata kelola kebijakan pangan dan mekanisme pengawasan impor yang seharusnya mengedepankan transparansi serta akuntabilitas.
Kerja sama antara pejabat negara dan pihak swasta yang melanggar hukum justru menyulitkan masyarakat dalam memperoleh komoditas pokok dengan harga yang wajar.
Ke depan, pengawasan terhadap distribusi dan regulasi komoditas pangan perlu diperkuat agar praktik serupa tidak kembali terulang.***