HUKAMANEWS — Ekonomi didalam negeri ikut merasakan imbas setelah konflik pecah di Timur Tengah setelah Israel dan Iran saling berbalas meluncurkan rudal sejak Jumat, 13 Juni 2025.
Mata uang rupiah mulai melemah pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat lalu, 13 Juni 2025 dengan melemah 0,38% atau 61 poin ke level Rp16.303,5 per dollar AS.
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menghitung berdasarkan analisis sensitivitas nilai tukar rupiah, setiap depresiasi Rp100 terhadap dollar AS berpotensi menambah defisit sebesar Rp3,4 triliun.
APBN 2025 mengasumsikan nilai tukar sebesar Rp16.000 per dollar AS. Artinya, jika sekarang posisi rupiah saat ini sekitar Rp16.303, lebih lemah dari asumsi, maka tambahan defisit bisa mencapai lebih dari Rp9 triliun.
"Defisit bertambah berasal dari meningkatnya beban pembayaran utang luar negeri, kenaikan biaya subsidi, serta tekanan pada belanja barang impor pemerintah," jelas Yusuf.
Dan yang terpenting, konflik Israel-Iran juga memengaruhi pergerakan harga minyak dunia. Dia menjelaskan bahwa APBN 2025 mengasumsikan harga minyak mentah (ICP) sebesar US$82 per barel, sementara itu harga aktual berada di US$74 per barel pada pada Sabtu ,14 Juni 2025. Artinya, harga ICP masih di bawah asumsi pemerintah.
Baca Juga: Disuruh Patungan, Pramono Siapkan Dana Giant Sea Wall Dari Pengolahan Sampah
Menurut Yusuf, berdasarkan tabel sensitivitas APBN 2025, setiap penurunan US$1 per barel akan menurunkan pendapatan negara sekitar Rp3,2 triliun.
"Dengan selisih realisasi saat ini yang sekitar US$8 lebih rendah dari asumsi, potensi pengurangan pendapatan negara bisa mencapai lebih dari Rp25 triliun," ujar Yusuf.
Hanya saja, dia menghitung belanja pemerintah terutama untuk subsidi energi juga ikut turun sekitar Rp10,1 triliun per US$1 atau sekitar Rp80 triliun jika ICP bertahan di level US$74 per barel. Artinya secara keseluruhan, efeknya cenderung netral atau malah positif terhadap keseimbangan anggaran.
Hanya saja, Yusuf menekankan bahwa efek positif itu tidak bisa dilihat sebagai perbaikan ruang fiskal.
"Sebab penurunan belanja di sini sebagian besar terjadi karena menurunnya kebutuhan subsidi energi, bukan karena efisiensi atau peningkatan efektivitas belanja. Artinya, ruang fiskal yang tercipta bersifat sementara dan belum tentu bisa digunakan secara fleksibel untuk belanja yang lebih produktif," ungkapnya.