Tak hanya itu, penyidik juga mengendus dugaan pelanggaran dalam kredit sindikasi yang melibatkan BRI, BNI, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), dengan total sekitar Rp 2,5 triliun.
Secara keseluruhan, nilai kredit yang hingga Oktober 2024 masih belum lunas mencapai Rp 3,5 triliun.
Besarnya nilai tersebut menjadikan perkara ini sebagai salah satu kasus kredit bermasalah paling besar yang tengah ditangani kejaksaan.
Dalam proses penyidikan, Kejagung juga telah memanggil sejumlah saksi dari kalangan perbankan, termasuk dari BRI dan BNI.
Baca Juga: Bongkar Fakta Tambang di Raja Ampat, DPR Temukan Ketimpangan Penindakan, Swasta Malah Bebas?
Hal ini menunjukkan bahwa penelusuran tidak hanya berhenti pada pihak penerima kredit, tetapi juga menyasar pemberi fasilitas pinjaman yang diduga telah menyimpang dari aturan.
Kejagung terus mendalami indikasi adanya pelanggaran dalam proses analisa kredit yang semestinya ketat, apalagi menyangkut perusahaan dengan status finansial yang sedang bermasalah.
Kasus ini menjadi gambaran nyata bagaimana potensi korupsi bisa menyusup dalam proses perbankan yang seharusnya berbasis mitigasi risiko.
Dengan pemanggilan kembali Iwan Kurniawan Lukminto pekan depan, publik kini menanti kejelasan lebih lanjut mengenai siapa saja yang bertanggung jawab dalam skema ini.
Apakah peran para pemimpin bank hanya sekadar administratif, atau ada kepentingan lain yang lebih besar di balik pencairan dana triliunan rupiah kepada perusahaan yang telah menyandang status pailit.
Pemeriksaan lanjutan ini diharapkan menjadi titik terang dalam penanganan kasus besar ini, yang tak hanya merugikan negara, tapi juga menyorot praktik tata kelola di sektor perbankan dan industri tekstil nasional.***