HUKAMANEWS - Kejadian longsor yang menelan korban jiwa di area penambangan batu alam Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, bukan sekadar peristiwa alam biasa.
Peristiwa ini mengungkap realita pahit tentang kelalaian sistematis dalam industri pertambangan, terutama pada sektor Galian C yang kerap luput dari perhatian publik.
Tak hanya menyoroti aspek teknis, bencana ini juga menelanjangi lemahnya tata kelola pertambangan, mulai dari perencanaan hingga pengawasan di lapangan.
Kondisi geografis Gunung Kuda sebenarnya sudah menunjukkan tanda-tanda kerentanan sejak lama.
Namun, eksploitasi tetap dilakukan tanpa memperhitungkan risiko secara menyeluruh.
Peneliti dari Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Budi Heru Santosa, menegaskan bahwa longsor ini merupakan refleksi dari kegagalan sistemik, bukan semata akibat cuaca ekstrem atau kondisi alam.
Menurutnya, lokasi tambang berada di kawasan dengan lereng curam, curah hujan tinggi, serta batuan yang rapuh.
Kombinasi ini seharusnya menjadi sinyal kuat bahwa wilayah tersebut memerlukan kajian geoteknik dan zonasi gerakan tanah sebelum kegiatan penambangan dimulai.
Namun sayangnya, banyak tambang beroperasi tanpa melalui proses ilmiah yang memadai.
Baca Juga: Kopdes Merah Putih Dinilai Bawa Harapan, Tapi Rocky Gerung Kasih Warning Serius Soal Risikonya!
“Seringkali penggalian dilakukan melampaui batas aman, drainase tidak disiapkan, dan eksplorasi dilakukan tanpa mempertimbangkan rencana reklamasi pascatambang,” ungkap Budi.
Ia juga menyoroti penggunaan alat berat yang kerap dilakukan tanpa rencana pengendalian dampak lingkungan.
Minimnya rambu operasi, absennya sistem evakuasi, serta ketiadaan jalur aman menunjukkan bahwa prinsip Good Mining Practice masih jauh dari implementasi di lapangan.
Hal ini menjadi penyebab utama sulitnya meminimalkan risiko bencana.