Dari jumlah tersebut, empat di antaranya merupakan anggota TNI, sementara sembilan lainnya adalah warga sipil.
Yang membuat peristiwa ini semakin mengundang tanda tanya adalah kehadiran warga sipil di area yang seharusnya steril dari masyarakat umum.
Lokasi peledakan diketahui berada di atas lahan milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kabupaten Garut yang sudah sejak lama difungsikan sebagai tempat penghancuran amunisi kadaluarsa.
Wahyu menyatakan bahwa penyelidikan masih berlangsung untuk mengungkap penyebab pasti ledakan serta alasan mengapa warga sipil bisa berada di area tersebut.
Ia menambahkan bahwa berdasarkan laporan sebelumnya, terdapat kecenderungan warga mendekati lokasi setelah peledakan untuk mengumpulkan sisa logam amunisi demi dijual kembali.
Kondisi inilah yang diduga menjadi salah satu celah keamanan yang luput dari pengawasan.
Meskipun wilayah tersebut jauh dari permukiman, aktivitas warga yang masuk secara ilegal tetap menjadi tantangan tersendiri dalam menjaga keselamatan selama proses penghancuran amunisi.
Hingga kini, tim investigasi dari TNI AD bersama pihak terkait tengah mendalami insiden tersebut.
Penelusuran akan difokuskan pada aspek teknis ledakan dan potensi kelalaian prosedur, baik dari sisi pengamanan maupun pengendalian akses warga sipil ke lokasi berbahaya.
Baca Juga: Seleksi Sekolah Rakyat Mulai Dibuka, Apa Bedanya Dengan Sekolah Negeri
Insiden ini juga memunculkan kembali diskusi mengenai standar operasional pemusnahan bahan peledak militer di Indonesia.
Apakah sistem yang selama ini dijalankan sudah cukup aman? Ataukah perlu ada pembaruan regulasi dan teknologi untuk mencegah tragedi serupa terulang?
TNI sendiri mengakui perlunya evaluasi mendalam. Selain aspek teknis, edukasi kepada masyarakat sekitar kawasan militer juga menjadi fokus penting agar tidak terjadi lagi kasus warga sipil yang nekat mendekati area berisiko tinggi demi alasan ekonomi.
Tragedi di Garut ini menjadi pelajaran berharga yang pahit. Bahwa meskipun prosedur sudah dijalankan sesuai aturan, potensi bahaya tetap bisa muncul kapan saja jika ada celah pengawasan, terutama di titik-titik yang melibatkan interaksi antara militer dan masyarakat sipil.