HUKAMANEWS - Kasus hukum yang menjerat seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS menarik perhatian publik karena melibatkan konten sensitif yang viral di media sosial.
Meme yang menggambarkan Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam posisi tak pantas telah menimbulkan polemik, baik dari sisi etika maupun hukum.
Perkara ini tidak hanya menimbulkan perdebatan soal batas kebebasan berekspresi, tetapi juga memunculkan sorotan tajam terhadap pendekatan aparat penegak hukum dalam menangani perkara digital.
Mahasiswi tersebut kini resmi ditetapkan sebagai tersangka dan telah ditahan oleh penyidik Bareskrim Polri.
Baca Juga: 2 Hakim Vonis Bebas Ronald Tannur Memilih Diam dan Tak Ajukan Banding, Ini Alasannya
Namun, desakan agar kasus ini tidak semata-mata dibawa ke jalur pemidanaan terus menguat, termasuk dari kalangan legislatif.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, mengusulkan agar penyelesaian kasus SSS bisa ditempuh melalui pendekatan keadilan restoratif.
Keadilan restoratif, atau restorative justice, merupakan mekanisme alternatif dalam sistem hukum pidana yang menitikberatkan pada mediasi antara pelaku dan korban, serta melibatkan unsur keluarga dan masyarakat.
Dalam konteks ini, pelaku tidak langsung dihukum secara konvensional, tetapi lebih diarahkan untuk menyadari kesalahan, meminta maaf, dan memperbaiki hubungan sosial yang terganggu akibat tindakannya.
Menurut Sahroni, pendekatan semacam ini lebih tepat digunakan dalam kasus seperti yang menimpa SSS.
“Saya juga berharap penegak hukum bisa menerapkan restorative justice, hukuman yang bersifat mendidik, bukan semata-mata diperlakukan sebagai kriminal,” ujar Sahroni saat dihubungi pada Sabtu (10/5).
Ia menambahkan bahwa konten yang dibuat SSS memang tidak layak, bahkan sudah jauh melampaui batas etika, apalagi jika menyangkut sosok kepala negara dan mantan presiden.
“Mulai dari aspek pornografi hingga orientasi seksual, semuanya mengarah pada hal yang sangat tidak pantas untuk dikonsumsi publik,” lanjutnya.
Meski begitu, Sahroni menilai bahwa tindakan tersebut tidak serta-merta harus dijawab dengan pemidanaan yang kaku.