Ia juga menambahkan bahwa banyak calon advokat yang memanfaatkan relasi pribadi untuk memperoleh surat magang, entah dari om, kakak, atau saudara lainnya yang sudah terlebih dulu menjadi advokat.
Artinya, proses pematangan profesional yang semestinya berlangsung selama dua tahun penuh bisa saja ditiadakan begitu saja dengan cara yang tidak etis.
Kritik ini bukan sekadar mempermasalahkan teknis pendidikan, tetapi menyentil esensi dari profesi advokat itu sendiri.
Dalam sistem hukum, advokat memiliki peran strategis dalam menjamin hak-hak hukum warga negara dan mengimbangi kekuatan aparat negara.
Namun, jika proses pembentukannya jauh dari standar profesional, maka yang dipertaruhkan adalah kepercayaan publik terhadap sistem peradilan secara keseluruhan.
Persoalan ini juga menyangkut aspek trustworthiness dan expertise yang menjadi pilar penting dalam prinsip EEAT yang kini menjadi salah satu fondasi algoritma Google dalam menilai kualitas konten.
Dalam konteks ini, kritik dari Wamenkumham juga bisa dipandang sebagai sinyal penting bagi institusi pendidikan hukum untuk mulai melakukan evaluasi serius.
Bukan tidak mungkin, jika sistem ini terus dibiarkan, maka kita akan terus melahirkan advokat-advokat yang tidak siap menghadapi tantangan etis dan profesional di lapangan.
Baca Juga: Jejak Dana Haram APBD Jatim Terendus, Rumah La Nyalla Digeledah KPK, Kasus Dana Hibah Makin Panas!
Sebaliknya, memperkuat kualitas pendidikan advokat bisa menjadi langkah awal membangun sistem hukum yang lebih adil dan berintegritas.
Pernyataan Eddy O.S. Hiariej memang tajam, namun justru menunjukkan bahwa masih ada harapan untuk memperbaiki sistem dari dalam.
Dengan adanya dorongan dari tokoh pemerintahan sendiri, pembaruan sistem pendidikan advokat bukanlah hal yang mustahil.
Kini, pertanyaannya adalah: apakah dunia hukum siap untuk berbenah, atau akan terus membiarkan standar rendah menjadi norma baru?***