HUKAMANEWS - Pernyataan mengejutkan datang dari Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Eddy O.S. Hiariej, soal kualitas sistem pendidikan advokat di Indonesia.
Dalam sebuah wawancara bersama kanal YouTube Total Politik, Eddy secara blak-blakan menyebut bahwa sistem pendidikan advokat di Indonesia merupakan salah satu yang terburuk.
Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Eddy membandingkan proses pembentukan profesi advokat dengan aparat penegak hukum lainnya seperti hakim, jaksa, dan polisi yang menempuh pendidikan dan pelatihan jauh lebih intensif.
Menurutnya, banyak kejanggalan yang terjadi dalam proses menjadi seorang advokat, mulai dari durasi pendidikan yang sangat singkat hingga lemahnya pengawasan terhadap proses magang.
Pernyataan ini membuka ruang diskusi serius mengenai kualitas dan integritas profesi advokat di Indonesia, terutama dalam konteks penegakan hukum yang adil dan profesional.
Apakah memang selama ini kita terlalu permisif terhadap standar profesi yang seharusnya menjadi pilar keadilan?
Eddy menyoroti bahwa untuk menjadi hakim saja seseorang harus melalui pendidikan selama dua tahun penuh.
Begitu pula dengan polisi yang menjalani pendidikan empat tahun di Akademi Kepolisian.
Jaksa pun tidak sembarangan, ada pelatihan khusus kejaksaan yang wajib ditempuh sebelum bisa menjalankan tugas sebagai penuntut umum.
Bandingkan dengan advokat, yang hanya menjalani Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) selama kurang lebih enam minggu.
Setelah itu, mereka cukup mengikuti ujian dan disumpah untuk langsung menjalankan praktik hukum.
Masalahnya, proses magang yang diwajibkan oleh undang-undang pun kerap hanya formalitas belaka.
“Bisa saja baru magang sehari, langsung dapat surat keterangan magang dua tahun,” ujar Eddy dengan nada prihatin.